Home Berita RABBUL MUSTADH’AFIN

RABBUL MUSTADH’AFIN

by Humas IAIN Palangka Raya
0 comment 2.5K views

Oleh: Akhmad Supriadi

Ada dua kebutuhan primer (al-Umur adh-Dharuriyyah) yang diperlukan manusia baik sebagai makhluk individu maupun sosial yaitu kebutuhan akan rasa aman dari rasa takut dan kekawatiran (termasuk rumah tempat tinggal), serta terbebas dari rasa lapar (kebutuhan pangan), hal ini dapat dipahami dari pesan dan kandungan QS. Al-Quraisy [106]:3-4: Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemelihara Rumah ini (yakni Ka’bah); Allah yang telah memberi makan mereka ketika lapar dan memberi rasa aman dari rasa ketakutan.

Ibadah puasa Ramadhan jika ditinjau dari aspek maqashid syariah—yakni hifzh al-Mal (menjaga dan mengembangkan aspek ekonomi keumatan) mengandung hikmah dan pesan terpenting tentang ajaran empati dan altruisme yaitu sebuah kondisi psikologis atau kejiwaan untuk turut merasakan beban dan penderitaan orang lain sehingga melahirkan sikap untuk peduli dan prioritas membantu terhadap orang lemah, miskin dan tertindas secara ekonomi. Rasa lapar saat berpuasa memberi sinyal dan pesan agar kita selalu ingat bahwa di sekeliling kita masih banyak orang-orang yang belum terbebas dari rasa lapar karena kemiskinan. jutaan saudara-saudara kita—termasuk orang-rang lemah (dhuafa) dan tertindas secara ekonomi (mustadh’afun) terngiang dalam batin mereka ketika malam hari:” Apakah keluarga saya besok masih bisa makan, masih punya beras, masih bisa sahur dan berbuka?” Sementara boleh jadi banyak umat Islam yang ketika sahur dan berbuka mereka bisa menyantap dan memilih menu apa saja, semua bisa dbeli di pasar Ramadhan karena uangnya tersedia.

Salah satu bentuk kesempurnaan iman seorang mukmin diukur dari seberapa jauh kepeduliannya untuk membantu sesama. Di dalam surah al-Maun ditegaskan bahwa seeorang dianggap sebagai pendusta agama jika tidak sekedar menganjurkan memberi makan fakir miskin. Sikap dan pandangan al-Quran tersebut selaras dan sejalan dengan pesan Nabi saw.:”Bukanlah mukmin sejati orang yang dirinya dalam keadaan kenyang sedangkan tetangga sekelilingnya dalam keadaan merasa lapar sampai ke ujung lambung.” (H.R. al-Bukhari).

Sebagai upaya membangun sikap peduli terhadap orang-orang yang lemah secara ekonomi inilah, Rasulullah saw. menstimulasi umat Islam untuk memperbanyak bantuan sosial di bulan Ramadhan dengan ganjaran yang berlipat ganda:” Barangsiapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka akan ditulis baginya sebagaimana pahala orang yang berpuasa, tidak mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikitpun. (H.R. Imam at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan ad-Darimi). Beranjak dari hadis tersebut, maka salah satu esensi dan hakikat puasa adalah mengikis sifat egoisme dan sifat kikir, agar kita mau berbagi dan peduli dengan sesama, bukan hanya di bulan Ramadhan tetapi juga di luar Ramadhan.

Pentingnya empati dan kepedulian sosial terhadap kelompok lemah dan tertindas secara ekonomi terlukis melalui sebuah hadis Qudsi dari Abu Hurairah ketika Allah berfirman melalui Rasulullah saw: Hai anak Adam! Aku sakit, mengapa kamu tidak menjenguk-Ku?” Jawab anak Adam; “Wahai Rabbku, bagaimana mengunjungi Engkau, padahal Engkau Tuhan semesta alam?” Allah Ta’ala berfirman: “Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sakit, mengapa kamu tidak mengunjunginya? Apakah kamu tidak tahu, seandainya kamu kunjungi dia kamu akan mendapati-Ku di sisinya?” “Hai, anak Adam! Aku minta makan kepadamu, mengapa kamu tidak memberi-Ku makan?” Jawab anak Adam; “Wahai Rabbku, Bagaimana mungkin aku memberi engkau makan, padahal Engkau Tuhan semesta alam?” Allah Ta’ala berfirman: “Apakah kamu tidak tahu, bahwa hamba-Ku si Fulan minta makan kepadamu tetapi kamu tidak memberinya makan. Apakah kamu tidak tahu seandainya kamu memberinya makan niscaya engkau mendapatkannya di sisi-Ku?” “Hai, anak Adam! Aku minta minum kepadamu, mengapa kamu tidak memberi-Ku minum?” Jawab anak Adam; “Wahai Tuhanku, bagaimana mungkin aku memberi Engkau minum, padahal Engkau Tuhan semesta alam?” Allah Ta’ala menjawab: “Hamba-Ku si Fulan minta minum kepadamu, tetapi kamu tidak memberinya minum. Ketahuilah, seandainya kamu memberinya minum, niscaya kamu mendapatkannya di sisiKu.”

Alangkah naif dan ironisnya, ketika ada orang yang berbuka dengan berbagai makanan yang lezat dan melimpah sementara di sekelilingnya masih ada tetangga dan kerabat yang puasa sepanjang tahun karena kekuranan pangan dan makanan. Ketika seorang muslim mampu membunuh sikap kikir dan egosentrisme dalam menumpuk pangan dan harta kekayaan, maka sesungguhnya ia telah berada dalam satu barisan bersama Allah SWT—Tuhan pembela orang fakir miskin, lemah dan tertindas.

You may also like

Leave a Comment

HUMAS/AUAK

IAIN PALANGKA RAYA

Kampus Itah News

Fakultas

Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya

COPYRIGHT © 2018-2023 HUMAS IAIN PALANGKA RAYA

PROUDLY POWERED BY TEKNO HOLISTIK