Oleh : Ali Murtadho Emzaed
Persoalan kebangsaan akhir-akhir ini telah menguras energi kita. Energi yang seharusnya dapat digunakan untuk membangun bangsa ini ke depan yang lebih baik, terkuras habis untuk menghadapi persoalan-pesoalan yang jika berlarut-larut menjadikan bangsa ini terpuruk. Meskipun demikian, itulah realitas yang harus dihadapi oleh bangsa ini yang merupakan side effect dari demokrasi. Reformasi telah memberikan ruang kebebasan publik ( free public sphere ) yang sangat luas kepada segenap anak bangsa untuk berekspresi. Tentu bukan berekspresi menebar bom di mana-mana, yang mengharuskan Pak Tito dan Prof. Nasarudin Umar datang ke Kalimantan Tengah untuk memberi pesan tentang pentingnya rasa aman, damai, dan tentram yang dikemas dalam Tabligh Akbar Kebangsaan beberapa waktu yang lalu.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Arendt dan Habermas bahwa ruang publik secara teoritis sebagai wilayah di mana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi kepada publik. Kebebasan bersuara telah diberikan haknya oleh konstitusi kita sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 3. Kebebasan yang bertanggung jawab itulah sejatinya yang dijadikan ukuran, sebab ada hak orang lain yang harus diberikan juga pada saat yang sama. Oleh karena itu kebebasan bagaimanapun juga dibatasi oleh kebebasan orang lain.
Efek dari kebebasan berekspresi tersebut, secara empirik menimbulkan masalah di kemudian hari. Mulai dari ujaran kebencian (hate speech) sampai pada penistaan terhadap ajaran agama sehingga memicu gelombang protes dan pembelaan atas agama yang dinista dengan melibatkan jutaan ummat yang telah berlangsung beberapa jilid.
Persoalan kebangsaan benar-benar harus dikelola secara baik jika tidak menginginkan bangsa ini jatuh dan terjerembab ke jurang disintegrasi bangsa. Letupan-letupan kecil yang mengarah disintegrasi bangsa misalnya telah disuarakan oleh beberapa elemen anak bangsa. Kebinnekaan dipersoalkan, intoleransi menjadi-jadi. Umpatan kebencian terhadap keberadaan komunitas yang lain tidak terbendung. Dan yang lebih parah lagi adalah adanya klaim masing-masing kelompok sebagai kelompok yang paling toleransi, paling bhinneka dan saling klaim kebenaran.
Kemajemukan potensi Disintegrasi Bangsa
Kebhinnekaan (kemajemukan) adalah fitrah yang tidak perlu diperjuangkan, akan tetapi harus dirawat dan dijaga oleh segenap anak bangsa ini. Kebhinnekaan merupakan kenyataan yang harus diterima (taken for granted) dan pantang disesali. Allah SWT sengaja membuat bangsa ini majemuk, sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an surat al-Hujrat ayat 10, Allah SWT berfirman:”Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dab bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa.”
Jelas kemajemukan merupakan sunnatullah (natural law) yang tidak terbantahkan. Tidak ada orang yang memesan dia dilahirkan sebagai orang Banjar, orang Dayak, orang Jawa, Melayu atau Sunda. Seseorang berasal dari keluarga muslim atau non muslim, serta dengan berbagai identitas yang di bawanya.
Dalam Surat an-Nahl ayat 93 Allah berfirman: “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (agama) saja, tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang Telah kamu kerjakan.
Dalam surat yang terakhir ini Qurais Shihab menjelaskan bahwa Jikalau Allah menghendaki, maka Dia akan menjadikan kalian satu umat, satu jenis, satu warna dan satu kepercayaan yang tidak ada perbedaan, dengan menciptakan kalian dalam wujud lain, seperti malaikat yang tidak memiliki kebebasan untuk memilih. Akan tetapi Allah berkehendak menjadikan kalian berlainan jenis dan warna, memberikan kalian kebebasan untuk menentukan dan memilih. Barangsiapa memilih dan lebih mengutamakan kesenangan duniawi daripada keridaan Allah, maka Allah akan membiarkannya dengan pilihannya itu. Dan barangsiapa memilih keridaan Allah dan mengerjakan kebajikan, maka Allah akan memudahkan jalan bagi keinginan dan maksud baiknya itu. Kemudian yakinlah sesudah itu bahwa kelak di hari kiamat, Allah akan meminta pertanggungjawaban atas apa yang kalian lakukan di dunia dan Allah akan memberikan balasan setimpal dengan perbuatan kalian.
Justru tesis dari Thaviskusion memandang bahwa kemajemukan merupakan aspek paling kuat dalam mendorong disintregrasi bangsa. Hal ini bisa dibenarkan manakala kemajemukan tidak dikelola dengan baik. Masing-masing mempunyai semangat ego sektoral (egosentrisme) dan semangat etnosentrisme (kedaerahan) yang berlebihan. Semangat kedaerahan, kelompok untuk berusaha menonjolkan kelebihan masing-masing (paling toleransi, paling bhinneka dan saling klaim kebenaran) akan menyuburkan sparatisme dan disintegrasi bangsa. Semestinya kemajemukan ditempatkan sebagai bagian dari potensi sumber daya yang harus dikelola secara baik untuk kemanfaatan dan kebesaran bangsa kita. Tepat sekiranya di tengah-tengah kemajemukan bangsa ini ditumbuhkan saling menaruh empati, toleransi, kerja sama,dan lain sebagainya.
Ide Cerdas Counter Terhadap Upaya Disintegrasi Bangsa
Upaya-upaya counter terhadap indikasi yang mengarah pada disintegrasi bangsa, telah digagas dan disuarakan. Sebut saja acara yang digagas oleh Rektor IAIN Palangkaraya dengan menggandeng Fordipas (Forum Direktur Pasca Sarjana) di lingkungan PTKIN (Perguruan tinggi Keagamaan Islam Negari) di depan gedung Triple Tower Kampus IAIN Palangkaraya beberapa waktu yang lalu merupakan langkah cerdas (smart action) dalam merespon persoalan bangsa ini.
Deklarasi serupa juga terlebih dahulu digaungkan oleh pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) se-Indonesia pada Pekan Ilmiah Olahraga Seni dan Riset (PIONIR) VIII 2017 di UIN Ar Raniri Aceh. Beberapa poin penting yang telah dideklarasikan secara langsung oleh Ketua Forum Direktur Pasca Sarjana (Fordipas) Prof. Dr. Ahmad Rofiq, MA dihadapan anggota fordipas dan civitas akademika IAIN Palangkaraya, yaitu : Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) sepakat menolak segala bentuk intoleransi, radikalisme, dan terorisme yang membahayakan Pancasila dan keutuhan NKRI (disintegrasi bangsa). Sebaliknya, PTKIN berkomitmen menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai ajaran Islam yang rahmatan lil alamin, Islam inklusif, moderat, menghargai kemajemukan dan realitas budaya dan bangsa.
Puasa Membentuk Sikap Kebersamaan
Togetherness atau kebersamaan adalah salah satu sifat yang ditanamkan dalam ibadah mahdhah yang bernama puasa. Puasa mengajarkan kepada manusia untuk membentuk karakter kebersamaan. Pada tataran implementatif bentuknya buka puasa bersama, sahur bersama, tarawih bersama, baca qur’an bersama, membagi-bagikan ta’jil buka puasa. Nilai tertinggi yang dapat diambil adalah nilai kebersamaan hidup saling bantu membantu(ta’awun). Istilahnya shaleh secara sosial.Baginda Rasul pernah berwasiat:”Irham man fil ardhy yarhamka man fi al-samaa’”, Sayangilah makhluk yang di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangimu. (H.R. Thabrany)
Sikap kebersamaan berarti mengakui akan keberadaan orang lain. Kebersamaan memicu toleransi, perbedaan, tenggang rasa, persatuan dan kesatuan. Sikap-sikap itulah yang harus diperankan dalam menjaga keutuhan dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kebersamaan melahirkan kekuatan yang maha dahsyat dalam mengelola segala potensi sumber daya yang ada dalam menggapai Indonesia yang berkemajuan dan berkeadilan.
Sikap kebersamaan tidak mungkin men-dhalimi dan menyakiti yang lain, sebab sikap tersebut pemicu perpecahan, disintegrasi baik dalam sekup kecil (dalam satu agama) , lebih-lebih sekup yang besar dalam bingkai kebangsaan harus benar-benar dihindari.
Akhirnya…ekspektasi kita semua bahwa melalui spirit puasa ini mudah-mudahan persoalan-persoalan kebangsaan yang menyandera bangsa ini dapat terurai dengan baik. Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat dan hebat, tidak akan dapat goyah meskipun diterpa isu disintegrasi bangsa. Indonesia akan semakin dewasa dalam menapaki kehidupan berbangsa dan bernegara ditengah-tengah kemajemukan rakyat dan budayanya.Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang nirpersoalan kebangsaan akan tetapi bagaimana persoalan kebangsaan itu dikelola dengan baik sehingga menjadi bangsa yang besar, kuat dan hebat berdasar Pancasila dan UUD 1945.
Wallahu a’lam