Home Berita KEMULIAAN AKHLAK

KEMULIAAN AKHLAK

by Humas IAIN Palangka Raya
0 comment 12.8K views

Oleh Surya Sukti

Misi utama kerasulan Muhammad saw adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Allah swt menjadikan Rasulullah Muhammad saw sebagai suri tauladan (qudwah dan uswah) yang terbaik bagi umat manusia. Keagungan akhlak Nabi Muhammad saw terukir di dalam al-Quran surah al-Qalam ayat 4, Allah berfirman yang maksudnya: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada pada akhlak yang agung”. Sejak anak-anak hingga remaja Muhammad telah tumbuh sebagai pribadi yang dikagumi oleh masyarakat di sekitarnya. Mereka member julukan “al-amin” yang berarti orang yang dipercaya.

Nabi Muhammad saw sendiri bersabda, yang maksudnya: “Sesungguhnya saya diutus (menjadi Rasul) untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak manusia” (HR Ahmad dan Baihaqi). Mungkin di antara kita ada yang bertanya, apakah akhlak sama dengan moral, sopan santun, budi pekerti dan etika? Jawaban sekilas terhadap pertanyaan ini adalah ya, sama. Namun bila ditelisik lebih lanjut akan tampak bahwa akhlak jauh lebih luas bukan sekadar dari sisi kerohanian saja atau spiritualitas saja, atau kepatutan saja, atau kesusilaan saja karena akhlak yang diajarkan Rasulullah Muhammad saw adalah keseluruhan kemanusiaan mencakup moralitas, spiritualitas, emosionalitas, rasionalitas, sopan santun dan etika yang berlandaskan nilai-nilai ilahiah.

Para ulama membagi cakupan akhlak kepada tiga dimensi yaitu pertama hubungan manusia dengan Tuhan yang disebut ibadah (taabbudiyah atau muamalah maal-khaliq), kedua hubungan manusia dengan sesama manusia yang disebut muamalah maannas, dan ketiga hubungan manusia dengan segala alam atau makhluk lainnya yang disebut muamalah maalkhalqi.

Keagungan dan kemuliaan akhlak itu apabila melekat pada diri seseorang maka kemudian dikenal sebagai akhlak terpuji. Orang yang sempurnak akhlaknya menurut Rasulullah saw adalah manusia terbaik. Rasul mengatakan, yang maksudnya: “Orang yang terbaik di antara kalian adalah orang yang paling baik akhlaknya”.

Ada orang yang ingin membangun moralitas dirinya hanya berdasarkan petunjuk akal untuk menentukan mengenai baik dan buruk. Namun kenyataan bahwa akal manusia terkadang tidak sama dan tidak mampu menunjukkan mana yang baik dan yang buruk. Di sinilah perlunya risalah (kerasulan) Muhammad saw yang membawa nur (cahaya) kebenaran untuk semua umat manusia. Karena sifat-sifat terpuji yang diajarkan oleh Rasulullah saw tidak bertentangan bahkan sejalan dengan nurani dan akal sehat manusia.

Dimensi pertama mengenai hubungan manusia dengan Tuhan disebut ibadah. Menurut tuntunan Islam bahwa cara manusia berhubungan dengan Tuhan tidak bisa sekehendak hati seseorang karena tidaklah pantas manusia menentukan dan mengatur Tuhan. Sebaliknya yang pantas adalah manusia tunduk pada aturan yang datang dari Allah swt. Dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 21 Allah swt berfirman, yang maksudnya: “Hai manusia sembahlah (beribadahlah) kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan kamu orang-orang yang bertaqwa”.

Cara menyembah Tuhan secara spesifik disebut salat (ash-sholaah). Nabi saw menegaskan: “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat saya salat”. Tidak dibenarkan salat dengan cara yang dibuat-buat tanpa tuntunan dari Nabi Muhammad saw. Salat secara bahasa juga bermakna doa. Salat juga bermakna dzikir kepada Allah. Bahkan Nabi Muhammad saw menyebut salat sebagai “mikrajnya orang yang beriman”. Salat adalah pokok ibadah dari segala ibadah yang diajarkan Nabi Muhammad saw. Salat juga sebagai tanda syukur dan kepatuhan sorang hamba kepada sang Khaliq.

Dimensi kedua mengenai hubungan manusia dengan sesama manusia. Hubungan kemanusiaan yang dibangun oleh orang-orang yang beriman adalah persaudaraan yang hakiki dan abadi. Persaudaraan karena diikat oleh persamaan sebagai keturunan (anak cucu) Adam disebut ukhuwah basyariah. Persaudaraan karena diikat oleh persamaan aqidah disebut ukhuwah islamiyah dan persaudaraan karena diikat persamaan kebangsaan disebut ukhuwah wathaniyah.

Dengan demikian kemajemukan atau keragaman budaya, bangsa dan agama tidak menjadi penghalang untuk membangun persaudaraan yang bersifat universal. Begitu pula persaudaraan karena persamaan aqidah, seiman dan seagama adalah persaudaraan yang kekal dan abadi namun tidak untuk merendahkan saudara-saudara yang berbeda aqidah dan keyakinan agamanya. Persaudaraan karena sesama bangsa semakin memperkokoh kesatuan dan kekuatan bagi tegaknya negara.

Rasa kasih dan sayang akan kemanusiaan mencerminkan manisnya iman yang kokoh kuat di dalam hati. Rasulullah saw mengkaitkan rasa kasih dan sayang kepada sesama dengan kesempurnaan iman. Nabi saw bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu kecuali dia (mampu) mengasihi sesama manusia sebagaimana dia mengasihi dirinya sendiri”.

Dimensi ketiga mengenai hubungan manusia dengan segala alam atau makhluk-makhluk lainnya. Manusia dalam pandangan Tuhan tidak lain adalah makhluk (ciptaan-Nya) yang memiliki segala keterbatasan dan kekurangan. Namun Allah swt memberikan keistimewaan kepada manusia sebagai makhluk-Nya yang terbaik di antara segala makhluk atau alam yang Dia ciptakan di dunia ini. Namun kepada manusia diberikan tanggungjawab untuk memanfaatkan dan mengelola segala potensi alam ini dengan sebaik-baiknya.

Manusia yang beriman harus mampu menebarkan kasih sayang dan kedamaian kepada segenap alam. Manusia beriman tidak boleh serakah atau semena-mena terhadap segala alam atau makhluk yang menjadi tanggungjawabnya di dunia ini. Karena itu di kalangan para ulama dan pakar, dimensi ketiga ini dikategorikan sebagai tanggungjawab manusia memelihara lingkungan hidup yang berdimensi sangat luas.

Rasulullah saw mengajarkan orang-orang beriman agar menyayangi segenap makhluk yang melata di muka bumi ini (tidak hanya manusia) termasuk hewan, tumbuhan, hutan, gunung, sungai, laut, danau, lembah dan ngarai. Air dan udara tidak boleh dicemari. Habitat hewan laut tidak boleh dirusak. Bahkan hewan yang tidak membahayakan manusia tidak boleh dibunuh atau disakiti. Rasulullah saw mengisyaratkan orang-orang yang beriman untuk mengasihi dan menyayangi segala yang di bumi agar dikasihi dan disayangi oleh yang di langit (Tuhan dan segenap malaikat

Nya).
Apabila ketiga dimensi tersebut melekat dan menyatu pada kepribadian seorang mukmin maka dia disebut “insan kamil” (manusia paripurna). Dia mampu menyatukan olah jiwa, olah raga dan olah hati bagaikan sebuah simponi yang terindah mengiringi jejak langkah kehidupannya di alam fana ini menuju alam abadi, dengan kalimat tauhid (laa ilaaha illallaah), bihusnil khatimah. Mudah-mudahan kita semua, setelah bulan puasa ini mampu menjadi “insan kamil” sebagai predikat tertinggi dari hasil pendidikan dan pelatihan Ramadhan. Amiin. (SS).

You may also like

Leave a Comment

HUMAS/AUAK

IAIN PALANGKA RAYA

Kampus Itah News

Fakultas

Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya

COPYRIGHT © 2018-2023 HUMAS IAIN PALANGKA RAYA

PROUDLY POWERED BY TEKNO HOLISTIK