IAIN Palangka Raya – Mengapa belanja online membuat candu? Berbagai sumber menyebutkan, mayoritas masyarakat tidak bisa berhenti berbelanja online dan membeli barang yang tidak dibutuhkan? Dorongan untuk berbelanja secara berlebihan adalah godaan terus-menerus bagi banyak orang, parahnya lagi di masa pandemi COVID-19 hanya memicu kecanduan berbelanja online. Pada era perkembangan teknologi modern sekarang ini, dunia dihadirkan oleh pandemi covid-19, yang mana teknologi mengambil andil menjadi peran utama dalam seluruh aspek kehidupan manusia, terkhusus dengan “Media sosial” yang ada di SmartPhone.
Menyangkut perihal sosial media, media online adalah suatu media yang digunakan hampir 85% penduduk di indonesia yang melibatkan golongan tua, muda, bahkan anak-anak pun menggunakan. Dengan alasan dan berbagai kebutuhan yang dicari oleh masyarakat. Pesatnya perkembangan teknologi, juga berdampak kepada sektor-sektor yang mengubah segala bentuk pemasaran. Metode pemasaran pun menjadi bervariatif baik secara konvensional maupun dengan digital marketing. Salah satu digital marketing yang paling sering digunakan dengan menggunakan media market place baik dari facebook ataupun instagram dan juga dari media aplikasi atau sering disebut dengan “Online Shop” seperti shopee, lazada, tokopedia, alibaba, amazone dan sejenisnya. Sistem yang digunakan bukan hanya 1 atau bahkan lebih, dan banyak sekali kebutuhan serta keperluan sekarang melalui belanja online atau Online shop.
Namun, di balik kemudahan belanja online yang super instan dan menyenangkan, ternyata ada efek kesehatan yang sangat buruk. Andra Abel Guvinda dan Fauzan Nadhil Qisthi dikutip dari kompasiana online mengatakan bahwa 8 dari 10 konsumen Indonesia (82%) mulai berbelanja online setidaknya sebulan sekali. Faktanya, satu dari empat konsumen berbelanja online lebih dari sekali seminggu. Secara global, tidak ada yang salah dengan belanja online, apalagi belanja kebutuhan pokok. Namun kenyataannya hanya segelintir orang yang berbelanja online untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, dan selebihnya mengarah pada semacam konsumerisme yang bersumber dari gaya hidup hedonis. Sifat konsumerisme dapat memicu kecanduan belanja seseorang (compulsive buying disorder), yang mengarah pada keinginan yang hasrat tak terbendung untuk membeli barang secara berlebihan. Hal ini juga sudah diramalkan oleh Psikiater berpengaruh Jerman yakni Emil Kraepelin sudah menggambarkannya pada awal 1900-an hal ini dapat memicu gangguan mental yang disebut pembelian kompulsif. Pembelian kompulsif bisa diartikan ketidakmampuan mengendalikan hasrat untuk membeli sesuatu dapat mendorong mereka untuk melakukan apa saja asalkan hasrat tersebut dapat terpenuhi.
Menurut Retno Mangestuti, M.Si, Dosen Jurusan Psikologi UIN Malang, pembelian kompulsif merupakan fenomena psikoekonomi yang mempengaruhi kehidupan banyak orang, terutama yang tinggal di perkotaan. Fenomena ini dapat dijelaskan dengan aktivitas pembelian berulang karena peristiwa yang tidak menyenangkan atau emosi negatif yang disebabkan oleh kecanduan, depresi, atau kebosanan. “Pembelian kompulsif semacam itu juga dapat diartikan sebagai suatu bentuk pembelian yang di bawah atau di atas kendali di mana impuls dikaitkan dengan konsumsi dan konsumsi, yang konsekuensinya merugikan”, pada kenyataannya, pembelian kompulsif yang kecanduan berbelanja hanya sebagian kecil orang. Belanja online untuk kebutuhan pokok dan selebihnya mengarah pada sifat konsumtif dari gaya hidup hedonis.
Hedonisme adalah suatu sifat atau cara pandang di mana orang mencapai kebahagiaan dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan menunda perasaan sedih dan menyakitkan. Pengikut hedonisme cenderung menjadikan kenikmatan sebagai tujuan hidupnya. Tentu saja pandangan ini bertentangan dengan ajaran Islam, yaitu selalu menerima segala kejadian dengan ikhlas dan sabar. Dan hiduplah sesuai dengan takdir Sang Pencipta. Pandangan hedonistik merupakan paham yang dibawa oleh non-Muslim. Tetapi ini tidak berarti bahwa dalam Islam kita tidak dapat mencari kesenangan dan kebahagiaan dalam Islam. Dalam firman Allah SWT, berikut adalah penjelasan pandangan Islam tentang kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan, yang berbunyi sebagai berikut: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; Itulah keberuntungan yang besar” (QS. Al Buruj : 11). Menurut Iin Emy Prastiwi, Tira Nur Fitria pada masa sekarang sifat hedonisme banyak ditemui, bahkan istilah ini sedang populer di kalangan anak muda. Hedonisme diartikan sebagai kegiatan yang terkesan hura-hura dan menghamburkan uang.
Kita harus menyadari bahwa pemuasan kebutuhan manusia dapat dipenuhi dengan cara-cara sederhana tanpa perlu berperilaku konsumtif. Tujuan konsumsi dalam Islam adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia. Memenuhi kebutuhan akan pengabdian kepada Tuhan (konsumsi) akan menjadikannya ibadah yang bermanfaat. Realitanya, manusia perlu mencari nafkah, mengonsumsi hal-hal yang halal, dan tidak boleh membelanjakan harta secara berlebihan. Konsumsi yang sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya akan menjamin kehidupan manusia yang adil dan makmur di dunia dan di akhirat. Karim menjelaskan bahwa gaya hidup hedonis (glamor) menumbuhkan sikap yang berlebihan menggunakan berbagai perangkat hedonis, membuat orang berpikir bahwa alat adalah bagian terpenting dari kehidupan. Dalam konteks ini, kebahagiaan telah dilihat sebagai kebutuhan yang mengakibatkan gairah berbelanja. Bahkan keinginan belanja justru semakin meningkat selama masa pandemi. Apalagi, saat ini kegiatan jual beli sudah jauh lebih dimudahkan karena bisa dijangkau melalui sistem daring. Dengan sistem online, pembeli akan merasakan kemudahan seperti tidak perlu keluar rumah dan akan tetap aman, karena barang akan diantarkan ke rumah. Ditambah dengan seseorang yang terpengaruh model terbaru dan belanja menjadi gaya hidup seseorang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga menyebabkan terjebak kepada kecanduan dalam berbelanja online.
Ketika sudah terjadi kecanduan dalam berbelanja online, kita perlu mengontrolnya dengan menerapkan prinsip kesederhanaan artinya bahwa orang haruslah membelanjakan sesuatu sewajarnya dan tidak berlebihan karena makan berlebihan itu berbahaya bagi kesehatan (QS. al-Araf: 31, al-Maidah: 87, dan al-Furqan: 67). Kesederhanaan adalah konsep utama dan fundamental Islam. Menerapkan gaya hidup sederhana, mensyukuri apa yang kita miliki, dan selalu “melihat ke bawah” di mana masih banyak orang yang membutuhkan, bisa menjadi pengendali kita untuk menghindari hedonisme. Cara hidup hedonistik tidak lain adalah pengaruh naluri/gharizah baqa (mempertahankan diri) yang mendorong manusia untuk melindungi diri atau menguasai apa yang diinginkannya. Kebahagiaan sejati tidak diukur dari banyaknya harta yang kita miliki atau kemewahan rumah yang kita miliki, tetapi kebahagiaan adalah jika hati kita selalu tentram dan selalu mensyukuri harta yang telah dikaruniakan Allah kepada kita, sedikit banyak harta itu adalah nikmat dari Allah untuk kita, tentu kita akan merasa cukup, sehingga tidak terjebak ke sifat hedonis.
Penulis : Rahmad Kurniawan, S.E.Sy., M.E. (Dosen FEBI IAIN Palangka Raya)
Editor : Dicky Andhika