Home Mimbar Jum'at Jangan Lupakan Kampung Halaman

Jangan Lupakan Kampung Halaman

by Humas IAIN Palangka Raya
0 comment 3K views

Oleh Cecep Zakarias El Bilad

Waktu terus bergerak. Semua terus berubah, tak terkecuali diri kita. Dahulu kita bayi, lalu tumbuh menjadi anak kecil, remaja, dewasa, tua dan akhirnya mati. Demikianlah, hidup adalah perjalanan. Perjalanan yang dahulu kita mulai di suatu tempat dimana kita berasal. Kampung yang sudah lama kita tinggalkan dan esok kita kembali.

Fitrah

Dalam Islam diajarkan, manusia itu mahluk dua dimensi. Ia hidup di dua alam sekaligus.  Tubuhnya berada di alam fisik – terikat ruang dan waktu. Para ulama menyebutkan alam nâsût. Ruhnya hidup di alam metafisik – noninderawi, tak terikat ruang dan waktu. Para ulama menyebutnya dengan alam malakût. Tubuh eksis di alam fisik, sebab ia tersusun dari unsur-unsur fisik pula. Menurut sains modern, unsur air membentuk lebih dari separoh tubuh manusia, sisanya adalah molekul-molekul seperti protein, senyawa-senyawa anorganik, DNA dan lain-lain.

Sementara ruh, tak ada manusia yang tahu hakikat sebenarnya. Dalam Surat al-Isra, 85, ditegaskan bahwa ruh adalah perkara yang dirahasiakan Allah. Wujud ruh memang noninderawi sehingga sulit dipahami manusia. Sedangkan fungsi/kerja akal sendiri tidak lepas dari informasi-informasi yang diperoleh dari pancaindera.

Namun begitu, pengetahuan seputar ruh tak berarti gelap sama sekali. Melalui sejumlah ayat dan hadits, Allah sedikit membuka tentang  misteri ruh ini sehingga para ulama dapat membincangkannya. Dalam Surat al-A’raf, 172, misalnya, Allah berfirman, “Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka. Allah berfirman: “Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” Mereka menjawab: “Benar. Engkau Tuhan kami. Kami menjadi saksi”. Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”

Dalam kitab ar-Rûḥ Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata, ada dua pendapat tentang masalah ini. Sebagian ulama ada yang menyakini ruh Allah ciptakan setelah jasad. Namun mayoritas berpendapat sebaliknya, ruh diciptakan jauh sebelum tubuh terwujud. Artinya, ruh manusia telah melewati fase-fase perjalanan jauh sebelum ia berjalan di muka bumi dengan kendaraan jasadnya.

Ada satu dimensi alam arwah yang dinamakan alam dzar (‘âlam adz-dzar). Kata Arab dzâr berarti sesuatu yang sangat kecil. Di alam inilah ruh manusia dikeluarkan dari sulbi Nabi Adam AS. Di sinilah pula terjadinya sumpah suci manusia di hadapan Allah seperti diungkap oleh ayat di atas, “Benar. Kami bersumpah Engkaulah Tuhan kami!.” Tentang ayat ini, seorang ulama Tabi’in, Isma’il bin Abdurrahman as-Sudi berkata dalam Tafsîr as-Sudî al-Kabîr, “tidaklah seorang manusia pun lahir di muka bumi ini kecuali ia tahu bahwa tuhannya adalah Allah. Tak seorang pun lahir dalam keadaan musyrik, kecuali jika kelak ia berkata ‘sesungguhnya kami mengikuti apa yang dianut nenek-moyang kami’.”

Dengan kata lain, tauhid adalah fitrah manusia. Setiap orang lahir dalam kondisi sudah mengenal siapa Tuhannya. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah ciptakan manusia dalam kepasrahan yang lurus kepada Allah (ḥunafâ muslimîn) (HR. ath-Thabrânî). Kata Arab fitrah, berakar dari kata dasar fathara yang berarti ‘mencipta/mewujudkan.’ Dalam al-Mu’jam al-Washîth, istilah fithrah bermakna: kondisi manusia saat ia awal mula diciptakan. Jadi, dikaitkan dengan ayat dan hadits tersebut, maka kondisi batin manusia saat ia lahir di dunia adalah menge-Esa-kan Allah SWT.

Fitrah ini terus terjaga kemurniannya dalam qalbu manusia. Namun ketika menginjak remaja, mulai sempurna akalnya, ia mampu mempertimbangkan baik dan buruk. Ia sudah bisa memilih sesuatu berdasarkan pertimbangan nalar, termasuk memilih jalan hidup (agama). Di sinilah peran lingkungan sangat menentukan. Ia akan tumbuh menjadi seperti apa dan agamanya apa, dibentuk oleh lingkungan tempatnya tumbuh dewasa. Nabi SAW bersabda, “setiap insan dilahirkan ibunya di atas fitrah. Orangtuanya lah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Muslim).

Pesannya adalah, orangtua menjadi ring pertama pendidikan bagi seseorang, yang kelak menentukan pilihan keimanannya. Maka keluarga pun, kerabat, sekolah adalah ring-ring berikutnya dalam pendidikan keimanan. Ring-ring pendidikan harus mampu melindungi kemurnian fitrah manusia. Jika tidak, fitrah itu akan terkubur oleh sampah-sampah duniawi yang terus menumpuk.

Pertarungan

Menurut Al-Ḫakȋm at-Tirmidzȋ (820-935 H) dalam Bayân al-Farq baina al-Ṣadr wa al-Qalb wa al-Fuâd wa al-Lubb, qalbu manusia berlapis-lapis. Lapisan intinya disebut lubb. Di situlah tempat bersemayamnya fitrah tauhid, yang disebutnya dengan cahaya tauhid (nȗr at-tauẖȋd) dan cahaya ketunggalan (nȗr at-tafrȋd). Di sinilah memancar kerinduan manusia untuk kembali kepada Allah. Siapapun manusia, Firaun sekaliun, dalam dirinya tetap ada keyakinan akan keberadaan Tuhan. Hanya saja, sinarnya redup, terselimuti oleh awan-awan hitam nafsu.

Menurut pakar psikologi Islam seperti Ibnu Sina dan Imam al-Ghazali, nafsu adalah aspek ruhani yang merupakan sumber daya dorong/syahwat bagi semua fungsi dan gerak tubuh. Setiap aktifitas fisik, termasuk kerja seluruh organ dan sistem tubuh, semuanya digerakkan oleh an-nafs ini.

Bila lingkungan tempat tumbuhnya seseorang hanya peduli pada kondisi tubuh dan akal semata, sementara itu abai pada kondisi qalbu, maka inilah pangkal persoalannya. Secara jasmani, tubuhnya mungkin sehat dan kuat, cantik parasnya, indah penampilannya. Secara intelektual, dia mungkin cerdas, kreatif, berprestasi dan sukses dalam pendidikan, karir dan ekonomi. Namun akibat qalbunya lemah, dia mudah galau, panik, terlena dalam hal-hal negatif; akhlak dan perilakunya jauh dari nilai-nilai agama.

Kata Imam al-Ghazali dalam Kîmîyâ’ as-Sa’âdah, qalbu itu adalah raja. Sementara nafsu adalah pelayannya. Ia adalah kendaraan (markab) bagi qalbu untuk mendaki puncak kedekatan kepada Allah. Apa jadinya jika sang raja bodoh, lemah an sakit-sakitan, sementara pelayannya sehat, kuat dan cerdik? Jadilah kerajaan diri itu dikendalikan oleh sang nafsu, yang liar tak mengenal aturan. Melihat kondisi itu, sang raja hanya terbaring tak berdaya. Artinya, dalam qalbunya seseorang mungkin sadar jika hidup ini hanya sebentar dan pasti akan berakhir. Ia mungkin mengakui, tenggelam dalam kesenangan dunia itu salah; bahwa berbuat curang, kerusakan, kezaliman, tipu-daya, dengki, malas ibadah, semua itu dosa dan akan berbuah siksa di akhirat. Namun nafsu begitu liar, dan qalbu tak mampu mengendalikan.

Pertarungan qalbu versus nafsu ini berlangsung sepanjang hayat seseorang di dunia. Siapa kuat, dia menang. Selama ini, kebanyakan orang sangat peduli pada kondisi tubuh. Semua hal dilakukan demi tubuh yang sehat, kuat, nyaman dan tampil cantik. Orang juga sangat perhatian pada perkembangan akal. Dibuatlah berbagai level dan model pendidikan, supaya cerdas, jenius, kritis, kreatif. Namun hanya sedikit orang yang peduli pada kondisi qalbu. Ia dibiarkan lapar, bodoh, kotor dan penuh penyakit (ruhani): malas, bangga diri, sombong, iri, dengki, dendam, cinta harta-benda berlebihan, dan lain sebagainya.

Menurut Ibnu Khaldun dalam buku Muqaddimah, makanan/nutrisi qalbu adalah dzikir. Dzikir sangat diperlukan untuk pertumbuhan-kembangan ruh (li tanmiyah ar-rûḥ). Allah berfirman, “Orang-orang beriman itu qalbunya tentram karena berdzikir. Ingatlah, hanya dzikrullah yang membuat qalbu menjadi tentram.” (ar-Ra’du, 28). Dzikir yang dimaksud, mencakup semua bentuk amal kebaikan yang diniatkan karena Allah seperti sholat, puasa, zakat, haji, sedekah, doa, sholawat dan wirid-wirid.

Dalam perjalanan hidup di dunia ini, nafsu hanyalah kendaraan dan akal hanyalah peta. Qalbu lah sang pengendara, yang punya kesadaran tentang maksud dan tujuan perjalanan hidup. Untuk itu, qalbu harus sehat dan kuat, agar mampu membimbing hawa nafsu. Sehingga hidup berjalan sesuai dengan misi dan tujuan yang sudah ditetapkan. Kelak pulang ke akhirat dengan selamat sentosa.

You may also like

Leave a Comment

HUMAS/AUAK

IAIN PALANGKA RAYA

Kampus Itah News

Fakultas

Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya

COPYRIGHT © 2018-2023 HUMAS IAIN PALANGKA RAYA

PROUDLY POWERED BY TEKNO HOLISTIK