Induk akhlak ada 4 pokok:
1. Ilmu Hikmah, keadaan diri mampu membedakan yang mana benar/salah. Kalau mau berakhlak baik, mestinya seseorang harus menuntut ilmu agama.
2. Adil, yaitu keadaan diri&kekuatan diri untuk mengatur emosi(kemarahan) dan syahwat(keinginan), sehingga keduanya terdorong dan terjaga sesuai tuntutan Ilmu. Seperti mampu mengatur emosinya kapan dia marah(sepeti melihat kema’siatan, anak digoda org, istri diganggu org) atau menahannya. contoh lain menahan syahwatnya dari sesuatu yg diharamkan.
“Bukanlah suatu kesempurnaan jika selalu bersikap keras atau selalu bersikap lunak/ramah dalam berbagai keadaan”
3. Pemberani, yaitu Keadaan emosinya yang tunduk pada akal, melakukan atau tidak dilaksanakan(ditahan), seperti dalam jihad. Amarah pada pada jalan tengah, baiknya pembelaan(contoh: membela dari gangguan dan penghinaan agama)yang tidak membabi buta ataupun penakut
“Akal selalu memikirkan dan memandang akibatnya kemudian, sedangkan Nafsu syahwat “penting sekarang” tidak memikirkan akibat kedepannya “, seperti: Seseorang yg Makan tanpa memikirkan pantangan yang mengakibatkannya sakit, Berzina tanpa memikirkan kehormatan dan dosa.”
4. Iffah(kehormatan), yaitu Terdidiknya kekuatan emosi dengan didikan akal dan syariat.
-Org yang mau baik akhlaknya harus belajar Ilmu agama. karena akhlak yang baik adalah:
“Akhlak itu baik dan bermanfaat diakherat, apabila baiknya menurut pandangan Agama”
-Contoh menundukkan syahwat “bersedekah dengan hartanya”, sebenarnya Syahwatnya ingin menyimpan harta dan mengumpulkannya sebanyak-banyaknya, dll.
-Akhlak bisa diperbaiki menjadi akhlak mulia, binatang saja bisa dirubah menjadi jinak dan terkendali, apalagi manusia yg mempunyai akal, hati, mendengar al-qur’an dan hadis.
-Akhlak dapat diperbaiki secara bertahab sebagaimana sabda nabi “perbaikilah akhlak kalian” حسنوا أخلاقكم
-Dulunya pemarah/kikir/banyak makan/banyak bicara/bohong/suka ghibah/, bisa dirubah dengan melatihnya secara bertahap.
“Orang berAkhlak yang Baik adalah Orang yang keluar dari perbuatannya sesuatu yang terpuji menurut akal dan agama tanpa terpaksa dan berfikir panjang (seperti sudah menjadi kebiasaan hidupnya)”
Semoga bermanfaat, Aamiinn
Sumber: Jamaluddin al-Qasimi, Mauidzatul Mu’minin dari Ihya Ulumiddin, Al-Ghazali. Juz 2. h. 6-9
Oleh: Abdullah Jejangkit