Oleh Akhmad Supriadi
Ibadah puasa diwajibkan bagi manusia-manusia beriman merupakan kawah candradimuka alias training center terbaik yang disiapkan oleh Allah dalam rangka pembentukan insan-insan paripurna yang mampu menebar dan menabur maslahat bagi alam semesta. Paling tidak, ada tiga (3) kecerdasan yang dapat diraih melalui puasa.
Pertama, kecerdasan spiritual (spiritual intelligent). Tidak seperti ibadah lain semisal zakat, puasa dan haji yang secara kasat mata ibadah-ibadah tersebut dapat diketahui sah atau tidaknya. Jika seseorang melaksanakan shalat, pekerjaannya dapat dilihat kebenarannya melalui proses visual empirik berupa gerakan dan bacaan. Demikian pula ketika seseorang berhaji atau membayar zakat, kesahihan atau kebenaran dua ritual agama tersebut dapat diketahui dan dilihat secara kasat mata alias tidak dapat dibohongi. Sementara ibadah puasa yang kita laksanakan, hanya dapat diketahui kebenarannya secara hakiki antara seorang hamba dan sang Khalik. Seseorang bisa saja mengaku berpuasa dengan berpura-pura lapar, loyo atau haus, namun siapakah yang mengetahui kesahihan puasanya kecuali antara ia dan sang khalik? Di sinilah, puasa sebagai medium menuju tangga takwa memiliki peranan penting dalam rangka membentuk manusia-manusia yang memiliki kecerdasan spiritual, yakni insan-insan yang batinnya senantiasa terhubung dan selalu merasa diawasi dan dilihat oleh Allah SWT. Berkaitan dengan hal ini, Nabi SAW pernah mengingatkan, “mengabdilah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, jika engkau tidak mampu bersikap seperti itu maka ketahuilah bahwa Dia senantiasa mengawasi tindak-tandukmu.” Jika kita mampu menghayati dan memaknai ibadah puasa sebagai sarana membangun nilai-nilai spiritualitas dan kejujuran, maka semua kita akan bekerja dengan jujur dan ikhlas meskipun tanpa diawasi oleh CCTV, KPK maupun berbagai instrument lainnya.
Selanjutnya, kecerdasan kedua yang hendak dibentuk melalui puasa adalah kecerdasan emosional (emotional intelligent) yang sangat terkait dengan kesalehan sosial. Sejak terbit fajar hingga terbenam matahari kita dituntut secara syariat menahan diri dari makan, minum serta melakukan hubungan seksual. Larangan-larangan tersebut sesungguhnya mengandung pesan moral yang sangat penting agar kita mampu menumbuhkan sikap empati dan simpati, yakni menempatkan posisi dan perasaan kita seolah-olah sebagai orang lain yang sering kelaparan karena secara ekonomis tidak mampu membeli bahan makanan. Melalui sikap empati tersebut, diharapkan akan lahir sikap simpati kepada kelompok masyarakat ekonomi lemah dan tertindas (dhuafa wa al-mustadhafin) agar mereka dapat dibantu keluar dari jurang kemiskinan. Sikap empati dan simpati ini bukan hanya lahir dan hadir di bulan puasa, akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana sikap tersebut akan tetap lestari dan langgeng setelah Ramadhan berakhir. Nabi SAW pernah bersabda, “Tidak beriman salah seorang di antara kamu yang tetangganya kelaparan sementara ia tidur kekenyangan.” Masih terkait dengan kecerdasan emosional, puasa juga mendidik kita agar mampu menahan emosi dan keinginan lain yang seringkali tidak terkontrol di luar Ramadhan. Nabi SAW mengajarkan bahwa jika seseorang yang sedang puasa dicaci maki atau diajak bertengkar maka hendaknya ia mampu mengendalikan emosinya dengan menyatakan, “maaf, saya sedang berpuasa.” Lebih jauh, melalui sebuah hadis riwayat Imam Muslim, baginda Rasulullah SAW juga mengajarkan agar seseorang yang sedang berpuasa mampu menahan keinginan hati untuk mencaci dan menyebar gosip (ghibah), sebab dua hal tersebut di samping merusak emosi dan hati juga merusak nilai serta menghilangkan pahala puasa. Pada era kekinian, banyak orang yang rendah kecerdasan emosionalnya ketika dengan mudah mengumbar ucapan dan makian di media sosial, padahal boleh jadi secara syariat puasanya tuntas sebulan penuh.
Kecerdasan ketiga yang tidak kalah penting yang hendak diraih melalui puasa adalah kecerdasan seksual (sexual intelligent). Ibadah puasa mendidik dan melatih kita agar menjadi “Nabi Yusuf masa kini” yang mampu menahan gejolak seksual. Harus diakui, kehancuran suatu kaum atau bangsa seringkali berawal dari sikap seks bebas (free sex) di mana semua orang bebas melampiaskan hasrat seksualnya tanpa mengindahkan batasan agama dan etika. Ketika berpuasa, hasrat tersebut dilatih dan dikendalikan secara bersamaan melalui otak hati dan kekuatan fisik sehingga seseorang mampu mengendalikan hasrat seksnya dengan baik. Tatkala seseorang—apalagi jika ia adalah sosok public figure—tidak mampu membangun kecerdasan seksual dalam dirinya, maka kehancuran akan segera menghampirinya. Kehancuran tersebut tidak hanya dari sisi karir, namun juga kehancuran dari aspek moral, sosial hingga hilangnya spiritualitas keimanan.
Demikianlah, puasa yang sedang kita jalani saat ini jangan sampai menjebak kita menjadi pribadi-pribadi yang hanya “mengejar doorprize pahala” atau “discount dosa”, namun tujuan paling penting dari ibadah puasa adalah lahirnya manusia-manusia saleh pasca Ramadhan yang mampu menabur manfaat dan menebar rahmat bagi alam semesta yang direfleksikan melalui tiga kecerdasan yakni kecerdasan spiritual yang selalu melahirkan kesadaran adanya Zat yang Maha Mengawasi dan Melihat, kecerdasan emosional yang melahirkan kesadaran sosial etis di mana seseorang mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama mahluk Tuhan, serta kecerdasan seksual yang menjadi katup pengendali kerusakan moral akibat bebasnya hubungan seks di tengah masyarakat. Wallahu ‘alam bishowab.