Oleh: Ahmad Dakhoir (PPIH Kloter BDJ 3)
Tenda ke 3 yang sejajar dari pintu maktab 75 padang arafah, menjadi tempat yang anggun bagi penikmat suluk. Tenda yang berisi gabungan 2 kloter yaitu BDJ 3 dan BDJ 4, hampir semuanya berisi para lansia, jamaah berkursi roda, dan jamaah berisiko tinggi.
Tak tampak wajah susah para petugas, dan pendamping. Tak tampak wajah letih para lansia. Semua wajah dan perilaku berbalut gembira, kebersamaan, saling tolong menolong, dan berbagi dalam menyambut prosesi wukuf di arafah.
Petugas dan jamaah melebur menjadi satu keluarga besar, bak ayah dan anak, kakek nenek bersama para cucunya. Padahal mereka berasal dari daerah yang berbeda, suku yang berbeda, profesi yang berbeda, latar belakang sosial yang berbeda, namun dalam satu falsafah budaya yang sama yaitu falsafah budaya huma betang.
Huma betang adalah falsafah masyarakat Dayak Kalimantan, Indonesia, yang berarti rumah besar yang berisi beragam suku, budaya, dan karakter.
Padang arafah adalah potret huma betang, sebuah padang yang dihuni oleh manusia yang sama. Tidak ada yang lebih tinggi dan rendah, tidak ada kasta sudra dan brahma, yang ada hanya satu yaitu hamba Allah yang lemah, yang ingin bersimpuh di hadapan-Nya.
Inilah makna wukuf yang sesungguhnya. Kebersamaan yang terlihat, menunjukkan nilai-nilai kemanusian, kesadaran diri, dan kesadaran posisi telah berwujud pada kebaikan sosial.
Nilai-nilai itulah yang membawa jamaah masuk dalam satu sifat yaitu rendah hati, empati dan hilangnya ego diri. Nilai-nilai kesalehan sosial itu pula yang selanjutnya dapat menjadi indikasi kukuhnya kesalehan spiritual seseorang.
Inilah keharmonian yang tampak saat wukuf di tenda ini. Tenda huma betang di padang arafah. Padang yang berisi multi dan beragam latar belakang namun sama di hadapan Tuhan yang Maha Kuasa. Amin amin
