Oleh Tri Hidayati
Bulan Rajab adalah bulan istimewa, bulan yang yang memuat banyak makna. Makna-makna itu muncul dari anugerah Allah SWT dalam memberikan keistimewaan bagi Rasul tercinta-Nya Muhammad SAW berupa perjalanan spiritual yang dikenal dalam sejarah umat manusia sebagai Isra’ Mi’raj.Seperti telah masyhur diceritakan bahwa diantara kejadian istimewa yang terjadi pada diri Rasulullah SAW sebelum perjalanan Isra’ Mi’raj dimulai adalah pembedahan hati (membersihkan hati) oleh malaikat Jibril dan Mikail AS untuk selanjutnya dicuci dengan air zam-zam 3 (tiga) kali dan diisinya hati mulia itu dengan hikmah dan iman. Pembedahan hati ini pada bagian awal sebelum memasuki inti cerita perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsho untuk selanjutnya diteruskan hingga ke Shidratil Muntaha.
Ada pertanyaan yang muncul dalam benak kita, mengapa hati yang dibedah dan dibersihkan? Kenapa bukan usus atau ginjal yang mempunyai peran penting dalam metabolisme tubuh? Yang secara biologis lebih kotor dan selalu bersinggungan dengan makanan? Atau alat pencuci anggota tubuh lainnya yang menjadi jalur kotoran bagi manusia? Dan mengapa pula pembedahan ini dilakukan sebelum perjalanan, kenapa tidak setelah perjalanan usai? Atau di tengah perjalanan?
Sesungguhnya dalam kejadian ini terdapat hikmah yang sangat dalam. Semakin tinggi kadar kepandaian spiritual seorang manusia, akan makin dalam ia memaknai sebuah hikmah. Namun, dalam tulisan ini kami hanya dapat mengambil satu dari hikmah dibalik kejadian tersebut yang mungkin telah banyak dipahami tetapi sering terlupakan orang. Bahwa hati adalah hal terpenting dalam diri manusia. Hati sebagai pusat metabolisme keimanan dan ketaqwaan. Bagaikan pilot, hati mengarahkan kehidupan spiritual manusia dan kualitas spiritual itu secara langsung turut menentukan dan mempengaruhi perilaku sosial seseorang. Sebagaimana dalam hadis yang masyhur Nabi menjelaskan:“Sesungguhnya di dalam tubuh seseorang terdapat segumpal daging, apabila gumpalan itu baik maka baiklah seluruh tubuh itu. Namun jika gumpalan itu jelek, maka rusaklah seluruh tubuh itu. Ingatlah… gumpalan itu adalah hati.”
Betapa pentingnya posisi hati bagi tubuh dan diri manusia. Hati bagaikan raja dan balatentaranya adalah anggota tubuh manusia. Jikalau baik sang hati, maka baiklah rakyatnyanamun jika rusak sang hati rusaklah segalanya.Dengan demikian, apa yang terjadi pada diri Rasulullah SAW adalah simbol bagi umatnya bahwa hati adalah perkara yang paling penting untuk dirawat mengalahkan berbagai anggota lainnya. Menyehatkan hati dan meriasnya jauh lebih penting dari pada merias wajah, dari pada bersolek tubuh bahkan lebih penting dari pada mengasah otak.Inilah yang sering kita lupakan.
Lantas bagaimana merawat hati kita dan menghiasinya agar tetap jernih dan mampu menjadi pelita bagi diri dan tubuh ini? Agar selalu terawat hindarkanlah hati kita dari empat perkara:riya, ujub, takabur, serta hasad. Riya adalah pamer, menurut Imam al-Ghazali adalah mencari kedudukan di hati manusia dengan cara melakukan ibadah dan amal. Dengan kata lain, riya selalu saja mengajak manusia untuk mencari modus dalam setiap kelakuan dan amalnya. Kemudian ujub, menurut Imam al-Ghazali ujub adalah sifat merasa diri serba berkecukupan dan berbangga hati atas nikmat yang ada dan lupa jika kelak akan sirna.Ujub merupakan induk dari sifat takabur, bedanya jika takabur berdampak pada pihak yang ditakaburi sedangkan kalau ujub terbatas pada dirinya sendiri. Sabda Rasulullah SAW:“ujub itu bisa memakan amal baik sebagaimana api memakan kayu bakar.”
Yang ketiga adalah takabur yaitu merasa dirinya lebih sempurna dari yang lainnya. Sebuah pengakuan yang berbuah kesombongan, sedangkan sebagaimana kita ketahui bahwa kesombongan adalah kemaksiatan yang pertama dilakukan oleh Iblis terhadap Allah SWT. Firman Allah SWT:“Turunlah engkau dari surga karena engkau menyombongkan diri didalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya engkau termasuk orang orang yang hina.” (QS. Al-A’raf:13). Terakhir, yang keempat adalah hasad atau dengki. Untuk menjelaskan hal ini cukuplah petikan seorang sufi dalam kitab Risalah Qusyairiyah “orang dengki adalah orang yang tak beriman sebab dia tidak merasa puas dengan takdir Allah.” Sementara ulama yang lain berpendapat orang yang dengki adalah orang yang selalu ingkar karena tidak rela orang lain mendapatkan kenikmatan. Indikasi dari sifat dengki adalah menipu apabila dihadapan orang lain, mengumpat apabila orang lain itu pergi dan mencaci maki apabila musuh tak kujung tiba pada orang itu.”
Selanjutnya untuk menghiasi hati, Imam al-Ghazali berpesan dalam Kitab beliauMizanul ‘Amal dengan empat kesalehan, yakni hikmah, kesederhanaan (‘iffah), keberanian (syaja’ah) dan keadilan (‘adalah). Beliau menjelaskan bahwa kerelaan memaafkan orang yang telah menzaliminya adalah kesabaran dan keberanian (syaja’ah) yang sempurna. Kesempurnaan ‘iffah terlihat dengan kemauan untuk tetap memberi pada orang yang terus berbuat kikir terhadapnya. Sedangkan kesediaan untuk tetap menjalin silaturahim terhadap orang yang sudah memutuskan tali persaudaraan adalah wujud dari ihsan yang sempurna.Wallahu ‘alamu bishshowab.