Ahmadi
Ulama-ulama terkemuka semisal al-Gazali dalam Ihya Ulumuddin, Ibnu Khaldun dalam Mukaddimah, Ibnu Qoyyim al-Jauzi dalam Miftahud Daarus menyatakan bahwa masing-masing orang memiliki fitrah (potensi) iman dan Islam dalam dirinya. Pendapat ini didasarkan pada peristiwa metafisis ketika Allah SWT mengambil penyaksian (syahadat) kepada seluruh roh manusia dengan pertanyaanNya: “alastu birabbikum”? (bukankah Aku ini Rabb kalian?). Serempak roh seluruh manusia pada saat itu bersyahadat dengan menyatakan “balaa syahidna” (benar Engkau adalah Rabb kami, kami menyaksikan). (QS. Al-A’araaf: 172). Seyogyanya dengan fitrah tersebut manusia suci dari kekufuran dan kemunafikan serta suci dari dosa dan kesalahan.
Hadirnya sang penggoda (setan laknatullah) telah mendistorsi kesetiaan akan penyaksian (syahadat) yang pernah diucapkan tersebut. Nabiyullah Adam alaihissalam adalah korban pertama, hingga dikeluarkan dari surga. Manusia, hingga akhir zaman kelak tidak akan mudah mempertahankan fitrah keimanan dan keislaman tersebut, karena setan telah bersumpah bahwa selamanya ia akan berusaha mengajak umat manusia ke jalan kesesatan. (QS. Shad: 82 – 83).
Khutuwat as-Syaitan (Strategi Setan)
Ibnu Qayyim al-Jauzi dalam kitabnya Madarijussaalikin mengupas tentang strategi setan dalam upaya menjebak manusia pada jalan kesesatan. Pertama, setan menawarkan kekafiran. Ia mengajak manusia untuk menolak agama, menolak kerasulan Nabi Muhammad SAW, menolak al-Qur’an. Ia menghembuskan rasa keraguan terhadap al-Qur’an, Nabi, bahkan terhadap adanya Tuhan. Manusia ditawarkan rasionalitas, individualitas, sikap apatis terhadap agama. Kedua, manusia dibiarkan beragama, meyakini kerasulan nabi, tetapi keyakinan dan pelaksanaan keagamaan telah dicampurbaurkan dengan hal-hal yang bersifat bid’ah, khurafat dan tahayul. Dalam konteks ini, tidak sedikit umat Islam yang terjebak dalam hal-hal tersebut ketika mengamalkan ajaran agama. Ketiga, setan akan datang melalui dosa-dosa besar. Manusia ditawari zina, korupsi, merampas hak orang lain, durhaka kepada orangtua. Setan membungkus zina dengan label “pergaulan masa kini”, atau pacaran. Korupsi dianggap sebagai keterampilan mengatur angka, kolusi sebagai upaya tolong menolong dan sebagainya. Banyak sekali orang yang terperdaya dengan tipuan syetan yang satu ini. Kasus korupsi hampir terjadi di mana-mana, berita tentang perzinahan dan macam-macamnya bukan lagi menjadi sesuatu yang tabu dan memalukan.
Selanjutnya strategi setan yang keempat, setan menawarkan dosa-dosa kecil. Maka berhati-hatilah dengan dosa-dosa kecil. Rasulullah SAW pernah bersabda: “Janganlah meremehkan dosa kecil, karena dosa-dosa kecil akan menjadi besar bila seseorang menghimpunnya.” Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Dosa yang paling besar adalah dosa yang dianggap kecil oleh pelakunya.” Kelima, setan akan menyibukkan manusia dengan melakukan hal-hal yang mubah, sehingga mereka lalai dengan hal yang wajib. Rekreasi misalnya, adalah pekerjaan yang mubah, tetapi tidak sedikit orang yang asyik berekreasi tapi melupakan shalat wajib atau seorang ibu rumah tangga yang aktif di luar rumah sehingga rumah tangganya terlantar. Berikutnya keenam, setan menawarkan ibadat-ibadat yang utama, tetapi melalaikan diri dari hal-hal yang lebih utama. Berzikir itu utama, tetapi manakala seseorang hanya sibuk berzikir atau tafakkur di sudut rumahnya lalu mengabaikan beragam permasalahan sosial dan keummatan, maka pada hakikatnya ia telah melupakan hal yang lebih utama. Seseorang jatuh pada jebakan keenam ini, ketika hanya meributkan perbedaan kecil dalam ibadat dan melupakan bagaimana seharusnya membangun ekonomi umat, melupakan tentang pentingnya pendidikan dan memperbaiki moralitas umat. Yang terakhir, ada strategi pamungkas yang ditampilkan setan khusus bagi orang-orang beriman dan bertakwa. Setan akan mengerahkan segenap bala tentaranya yang terdiri dari jin dan juga manusia untuk menyakiti mereka. Orang-orang saleh akan difitnah, dicaci maki, diganggu dengan lisan dan tindakan. Kebenaran ajarannya disebut dusta, kebersihan pribadinya akan dianggap skandal, nasehatnya diperlakukan sebagai tindakan subversif dan meresahkan masyarakat. Pada taraf inilah seseorang benar-benar diuji keikhlasannya dalam menjalankan agama. Hal inilah yang juga pernah dialami oleh para nabi dan aulia Allah.
Mengikuti jejak langkah setan sama adanya berselingkuh dengan setan. Perselingkuhan dengan setan meskipun memberikan kenikmatan-kenikmatan zahir, tetapi mengundang kesengsaraan dan kebinasaan baik di dunia terlebih di akhirat. Berselingkuh dengan setan berarti menafikan kesetiaan terhadap ikrar (syahadat/kesaksian) yang pernah dideklarasikan. Hal ini menjadikan fitrah iman dan Islam – yang seharusnya menjadikan manusia suci dari kekufuran dan kemunafikan serta suci dari dosa dan kesalahan –, menjadi terdinding dan bahkan bisa menghilang, karena diselubungi dosa dan kemaksiatan. Karenanya waspadalah dan hindarilah berselingkuh dengan setan. Allah telah mengingatkan dalam firmanNya agar manusia tidak menuruti langkah-langkah setan. (QS. An-Nuur: 21). Wallahu a’lam.