Akhmad Supriadi
Nama Saba’, sebuah kerajaan Negeri Yaman, pernah viral dan menjadi buah bibir di Indonesia. Itu karena seorang ulama, KH. Fahmi Basya, melalui buku dan pernyataannya menyebut bahwa daerah Sleman, Yogyakarta sesungguhnya berasal dari kata Sulaiman. Sang Kyai juga berpendapat bahwa Candi Borobudur sesungguhnya dibangun oleh tentara Sulaiman yang berasal dari kelompok jin dan manusia. Bahkan ungkap kyai itu,nama “Saba’” yang artinya “tempat berkumpul” berlokasi di Candi Ratu Boko yang terletak sekitar 36 km dari Candi Borobudur, yakni tepatnya di daerah Wonosobo, Jawa Tengah. Kata “Wonosobo”, kata beliau, berasal dari “Saba’”. Sang Kyai juga berpendapat bahwa buah Maja yang pahit merupakan bukti bahwa pepohonan di sekitar Saba’ berubah menjadi pahit akibat banjir besar (sail al-‘Arim) yang menimpa wilayah tersebut. Meskipun pendapat tersebut banyak mendapat sanggahan dari para pakar karena dianggap lemah, namun legenda tentang negeri dan Kaum Saba’, termasuk salah satu penguasanya yakni Ratu Bilqis, kembali terkuak dalam memori banyak orang.
Cerita tentang kejayaan dan petaka yang menimpa negeri dan kaum Saba’ secara spesifik direkam oleh al-Qur’an melalui satu surat yaitu surat Saba’ [34]:ayat 15-18: “Sungguh, bagi kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan), “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.”Tetapi mereka berpaling, maka Kami kirim kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit pohon Sidr; Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.”
Kemakmuran negeri Saba’ dilukiskan dalam kalimat baldatun thayyibah wa rabbun ghafuryakni negeri yang baik (nyaman, aman dan makmur) dan Tuhan yang maha pengampun.Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menulis, bahwa negeri Saba’ berlokasi tidak jauh dari kota Sana’a, Ibukota Yaman saat ini. Negara Saba’ atau Negara Ma’rib dikelilingi dua kumpulan kebun di sisi kanan dan kiri. Kerajaan ini berdiri sejak abad 8 SM. Mereka memiliki Ma’rib yakni bendungan raksasa yang menjadi sumber pengairan sebagai salah satu kunci kemakmuran negeri yang berbasis ekonomi pertanian itu. Pengaruh kekuasaan Saba’mencapai ke Ethiopia, Afrika. Saking makmurnya negeri Saba’, menurut sebagian riwayat, seandainya seorang pejalan kaki menaruh keranjang di kepalanya, niscaya sambil berjalan keranjang itu akan penuh dengan bermacam buah yang jatuh ke dalamnya.
Banyak di antara ahli sejarah dan peneliti di barat meragukan tentang adanya Bendungan Ma’rib ini. Sampai akhirnya seorang peneliti dari Perancis datang sendiri ke selatan Yaman untuk menyelidiki sisa-sisa bendungan itu pada tahun 1843. Dia dapat membuktikan adanya bendungan itu dengan menemukan bekas-bekasnya, lalu memotret dan mengirimkan gambar-gambarnya ke suatu majalah di Perancis. Para peneliti lainnya menemukan pula beberapa batu tulis di antara reruntuhan bendungan itu. Dengan demikian, mereka bertambah yakin bahwa dahulu kala di sebelah selatan Yaman telah berdiri sebuah kerajaan yang maju, makmur, dan tinggi kebudayaannya. Pendapat ini diperkuat oleh sejarawan yang hidup pada abad IV H, al-Hasan al-Hamdani, seperti dikutip Ibn ‘Asyur, di mana ia pernah melihat reruntuhan bendungan raksasa Ma’rib itu. Di dalam al-Qur’an maupun kitab sejarah, Negeri Saba atau Ma’rib menjadi negara yang aman, makmur dan sentosa (baldah thayyibah) berkat ekonomi pertanian atau agro industri yang bersumber dari sistem pengairan bendungan raksasa yang disebut Ma’rib.
Disebut dalam Tafsir at-Tahrir karya Ibn Asyur dan Tafsir Tahlili Kementerian Agama, bahwa pasca pemerintahan Ratu Bilqis yang membawa penduduk Saba’ beriman ketika diajak Nabi Sulaiman, kaum Saba’ berubah menjadi kufur dan inkar. mereka menolak dan berpaling dari seruan Allah, bahkan menghalangi orang-orang yang insaf beriman kepada-Nya. Allah lalu menimpakan siksaan kepada mereka dengan membobolkan Bendungan Ma’rib dan terjadilah malapetaka yang hebat berupa banjir hebat (sail al-‘arim) yang menghanyutkan semua yang menghalangi arusnya. Kebun-kebun yang berada di kiri dan kanan negeri itu menjadi musnah, dan semua binatang ternak mereka hanyut. Korban manusia pun tidak terhitung banyaknya, sehingga hanya sedikit orang yang masih hidup. Hanya beberapa kelompok kecil dari mereka yang selamat dari malapetaka yang dahsyat itu.
Mereka yang selamat ini pun tidak dapat tinggal dengan senang di tempat mereka semula. Sebagian dari mereka lalu hijrah ke tempat lain yang subur karena tidak ada lagi kebun-kebun yang bisa mereka tanami dengan baik dan tidak banyak lagi binatang-binatang ternak yang akan mereka pelihara. Tanah-tanah yang dahulu subur telah menjadi tandus karena semua air yang tersimpan di dalam bendungan telah tumpah ke padang pasir yang dapat menelan air berapa pun banyaknya. Yang tumbuh di bekas kebun-kebun mereka hanya tumbuhan yang tidak banyak gunanya, buahnya pun pahit. Bila mereka ingin bercocok tanam yang mereka harapkan hanya air hujan yang turun dari langit saja.
Membaca sejarah Negeri Saba’, kita seperti diajak oleh al-Qur’an untuk menengok negeri kita. Saba’ dan Indonesia punya satu kemiripan dan kesamaan, yakni dianugerahi wilayah yang subur dengan potensi pertanian dan perkebunan yang luar biasa. Tanah kita—meminjam lirik sebuah lagu, adalah ibarat tanah surga. Tongkat dan batu saja menjadi tanaman. Belum lagi beragam sumber daya mineral yang terkandung di dalamnya. Namun, nasib negeri kita bisa saja seperti Negeri Saba’. Negeri yang awalnya subur makmur aman dan tenteram (baldah thayyibah) penuh dengan rahmat dan ampunan Tuhan (wa rabbun gafur) yang sekejap hancur menjadi daerah tandus karena sikap kufur penduduknya. Lihat saja, hutan-hutan kita sudah banyak yang hancur karena dibakar dan dieksploitasi tanpa reboisasi. Sungai-sungai menjadi rusak dan keruh akibat penambangan, racun ikan serta dampak kerusakan hutan dan tambang batu bara.Jika kita tidak pandai menjaga dan memeliharanya, maka kerusakan dan bencana seperti yang menimpa negeri Saba’ di Yaman hanya tinggal menunggu waktunya saja. Kekuasaan yang otoriter seperti legenda Midas di Turki bisa saja terulang jika penguasa dan raklyat lupa diri untuk memelihara dan mengelola bumi yang makmur dan melimpah dengan merusak dan mengksploitasi dengan melupakan etika lingkungan. Kelak, tanah yang subur dan hutan yang hijau disertai limpahan hasil pertanian dan perkebunan bisa saja berganti menjadi kekeringan dan daerah gundul yang tidak menghasilkan apa-apa kecuali tangisan dan nestapa.