Home Mimbar Jum'at Puasa Ramadhan, Pandemi Covid-19, dan Taqwa

Puasa Ramadhan, Pandemi Covid-19, dan Taqwa

by Humas IAIN Palangka Raya
0 comment 17.9K views

PALANGKA RAYA – Tidak terasa, seiring dengan bergantinya hari, Umat Islam telah sampai di pertengahan bulan Ramadhan. Ini berarti, kita sudah sampai pada separuh waktu berpuasa di tengah pandemi Covid-19 yang sedang melanda Negeri ini, termasuk juga melanda hampir seluruh bagian dunia. Banyak arahan dan petunjuk yang diberikan pada separuh Bulan ini dalam upaya pelaksanaan ibadah puasa di tengah pandemi, dari yang bernuansa panduan, hikmah, hingga manfaat puasa itu sendiri bagi kesehatan dan imunitas tubuh manusia, telah dirilis sedemikian rupa, baik oleh WHO sendiri yang merupakan badan PBB yang bertanggungjawab atas kesehatan dunia, ataupun dari organisasi-organisasi lain seperti Ikatan Dokter Indonesia ataupun individu yang berkonsentrasi dan care atas permasalahan ini. Dalam pada itu, dari perspektif sosial, banyak pula hal yang terjadi dalam separuh Bulan ini, yang secara nyata berbeda dengan Ramadhan sebelumnya. Kebersamaan Berbuka Bersama (BukBer), kumandang Shalawat, riuhnya Tarawih, gema Tadarus dan Khataman Qur’an, i’tikaf, serta tradisi-tradisi lain yang mengiringi Bulan Suci ini seakan sirna dalam kehidupan Umat Islam saat ini, semuanya terpaksa ditiadakan demi meminimalisir penyebaran virus Covid-19 atau biasa disebut dengan Corona Virus ini.

Namun, terlepas dari ketiadaan dalam kebersamaan ibadah dan tradisi Ramadhan karena Masjid, Surau, Langgar, Mushalla digembok dan dikunci rapat, tuntutan dalam berpuasa pada Bulan Suci ini tetaplah sama, dari dahulu, dari semenjak kewajiban ini dimulai hingga sekarang, yakni taqwa.

Kategori taqwa ini pun tidak mengenal ada atau tidaknya virus Covid-19 di bulan Ramadhan, dia tetap menjadi ”harapan” Ilahi atas berpuasanya Umat Islam di Bulan Suci ini, la alla kum tattaqûn.

Permasalahannya, masih bisakah kita masuk dalam kategori taqwa ini sementara ”cara” kita mengisi Bulan Suci ini, setidaknya secara kuantitas, berkurang dari Ramadhan sebelumnya? Semangat filantropis umat dalam ”membuka”-kan orang yang berpuasa di masjid, surau, langgar, mushalla tidak bisa diakomodasi karena masjidnya, suraunya, langgarnya, mushallanya tutup. Ibadah-ibadah yang mengiringi puasa seperti Tahlil dan mendengarkan Kultum sebelum berbuka, Tarawih berjamaah, i’tikaf, Tadarrus dan Khataman Qur’an secara bersama juga tidak bisa digelar secara massif karena – sekali lagi – masjidnya, langgarnya, suraunya, mushallanya tutup. ”Rasa Keberagamaan” dalam bulan Suci ini seakan tidak terasa sama sekali karena pada Ramadhan kali ini, dan sepertinya tidak berbeda dengan bulan-bulan lain selain pada puasa-nya saja, hingga akhirnya tetap saja muncul kelompok-kelompok masyarakat yang tetap ”memaksakan diri” melaksanakan apa yang semestinya menjadi tradisi dalam bulan Ramadhan. Taraweh berjama’ah pun tetap digelar di masjid, surau, langgar, mushalla secara diam-diam, tadarus dan khataman pun tetap dilakukan sekalipun tanpa melalui pengeras suara atau dilakukan secara daring, i’tikaf di tempat ibadah tetap dilaksanakan meskipun harus menggunakan masker, sanitizer, dan jika perlu memakai APD. Semua ini terjadi, sedikit banyak tentu masih berkaitan dengan kategori taqwa yang memang menjadi poin akhir dari dilaksanakannya ibadah puasa di bulan Ramadhan. Apa sebenarnya makna dari kata ”taqwa” ini?

Musdah Mulia, dalam Tadabburnya pada mujahidahmuslimah.com, dan juga Lailah alfi dalam pembahasannya tentang Konsep Taqwa dalam Al-Qur’an pada afi.unida.gontor.ac.id pernah mencermati kata taqwa ini secara detail dalam kajian Al-Qur’an dan Tafsir.

Secara umum, kata taqwa berasal dari bahasa Arab, taqwa ( تَقْـوَى ), yang dalam kajian etimologi, kata ini merupakan bentuk masdar dari kata ittaqa–yattaqi  ( اتَّقَى- يَتَّقِىْ ), yang berarti ‘menjaga diri dari segala yang membahayakan atau membawa mudharat (kebinasaan). Sejumlah pakar bahasa berpendapat bahwa kata ini lebih tepat diterjemahkan dengan “berjaga-jaga atau melindungi diri dari sesuatu”. Kata takwa dengan pengertian ini dipergunakan di dalam Al-Qur’an, misalnya pada Q.S. al-Mu’min, 40: 45. Kata ini pun sebenarnya berasal dari kata waqa–yaqi–wiqayah  ( وَقَى- يَقِى- وِقَايَة ), yang berarti ‘menjaga diri’, ‘menghindari’, dan ‘menjauhi’, yaitu menjaga sesuatu dari segala yang dapat menyakiti dan mencelakakan.

Penggunaan bentuk kata kerja waqa ( وَقَى ) dapat dilihat, antara lain di dalam Q.S. al-Insan, 76: 11; dan S.Q. ad-Dukhan, 44: 56. Penggunaan bentuk ittaqa  ( اِتَّقَى ) dapat dilihat antara lain di dalam Q.S. al-A‘raf, 7: 96.  Kata taqwa  ( تَقْوَى ) juga bersinonim dengan kata khauf  ( خَوْف ) dan khasyyah       ( خَشْيَة ) yang berarti ‘takut’. Bahkan, kata ini mempunyai pengertian yang hampir sama dengan kata taat. Kata taqwa yang dihubungkan dengan kata ta‘ah  ( طَاعَة ) dan khasyyah  ( خَشْيَة ) digunakan Al-Qur’an dalam surah an-Nur, 24: 52.

Adapun dalam kajian terminologi syar‘i (hukum), kata  taqwa mengandung pengertian “menjaga diri dari segala perbuatan dosa dengan meninggalkan segala yang dilarang Allah SWT dan melaksanakan segala yang diperintahkan-Nya”. Di dalam Al-Qur’an kata ini disebut 258 kali dalam berbagai bentuk dan dalam konteks yang bermacam-macam. Kata itu yang dinyatakan dalam bentuk kata kerja lampau  ditemukan sebanyak 27 kali, yaitu dengan bentuk ittaqa  ( اِتَّقَى ) sebanyak 7 kali, antara lain di dalam surat al-Baqarah, 2: 189;  dalam bentuk ittaqaw  ( اِتَّقَوْا ) sebanyak 19 kali, seperti di dalam surat al-Ma’idah, 5: 93;  dan dalam bentuk ittaqaytunna  ( اِتَّقَـيْتُنَّ ) hanya satu kali, ditemukan di dalam surat al-Ahzab, 33: 32.

Dalam bentuk-bentuk seperti di atas, kata taqwa pada umumnya memberi gambaran mengenai keadaan dan sifat-sifat, dan ganjaran bagi orang-orang bertakwa. Kata taqwa yang diungkapkan dalam bentuk kata kerja yang menunjukkan masa sekarang ditemukan sebanyak 54 kali. Dalam bentuk ini Al-Qur’an menggunakan kata itu untuk: (1) menerangkan berbagai ganjaran, kemenangan, dan pahala yang diberikan kepada orang yang bertakwa, seperti di dalam surat al-‘alaq, 65: 5;  (2) menerangkan keadaan atau sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seseorang sehingga ia diharapkan dapat mencapai tingkat takwa, yang diungkapkan bentuk la‘allakum tattaqun (لَعَلَّكُمْ تَتَّقُـوْنَ, semoga engkau bertakwa), seperti di dalam surat al-Baqarah, 2: 183; dan (3) menerangkan ancaman dan peringatan bagi orang-orang yang tidak bertakwa, seperti di dalam surat al-Mu’min­n, 23: 32.

Kata taqwa yang dinyatakan dalam kalimat perintah ditemukan sebanyak 86 kali, 78 kali di antaranya mengenai perintah untuk bertakwa yang ditujukan kepada manusia secara umum.  Obyek takwa dalam ayat-ayat yang menyatakan perintah takwa tersebut bervariasi, yaitu: (1) Allah sebagai obyek ditemukan sebanyak 56 kali, misalnya pada Q.S. al-Baqarah, 2: 231  dan Q.S asy-Syu‘ara’, 26: 131; (2) Neraka sebagai obyeknya dijumpai sebanyak 2 kali, yaitu pada Q.S. al-Baqarah, 2: 24 dan Q.S. Ali Imran 3: 131; (3) Fitnah/siksaan sebagai obyek takwa didapati satu kali, yaitu pada Q.S. al-Anfal, 8: 25; (4) Obyeknya berupa kata-kata  rabbakum  ( رَبَّكُمْ ), al-lazi khalaqakum  ( الَّذِيْ خَلَقَكُمْ ), dan kata-kata lain yang semakna berulang sebanyak 15 kali, misalnya di dalam Q.S. al-Hajj, 22: 1.

Dari 86 ayat yang menyatakan perintah bertakwa pada umumnya (sebanyak 82 kali) obyeknya adalah Allah, dan hanya 4 kali yang obyeknya bukan Allah  melainkan neraka, hari kemudian dan siksaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat yang berbicara mengenai takwa di dalam Al-Quran pada dasarnya yang dimaksudkan adalah ketakwaan kepada Allah SWT.

Kata taqwa yang dinyatakan dalam bentuk masdar,  ditemukan di dalam Al-Qur’an sebanyak 19 kali. Yang diungkapkan dalam bentuk tuqat  (تُقَاة ) sebanyak 2 kali dan dalam bentuk taqwa ( تَقْوَى ) sebanyak 17 kali. Dalam bentuk ini kata taqwa pada umumnya digunakan Al-Qur’an untuk: (1) menggambarkan bahwa suatu pekerjaan yang dilakukan harus didasarkan atas ketakwaan kepada Allah SWT, seperti di dalam surat al-Hajj, 22: 37; dan (2) menggambarkan bahwa takwa merupakan modal utama dan terbaik untuk menuju kehidupan akhirat.

Setelah menilik beberapa term taqwa di atas, maka dapat dijabarkan beberapa poin terkait konsep taqwa, yang antara lain:

  1. Taqwa sebagai refleksi dari Iman, Islam dan Ihsan

Menurut Yunahar Ilyas, bila ajaran dalam agama Islam dibagi menjadi Iman, Islam dan Ihsan, maka pada hakikatnya taqwa adalah integralisasi ketiga dimensi tersebut. Iman adalah gabungan dari kepercayaan, rasa takut (khauf) dan harap (ar-rajaa), sedangkan rasa takut adalah substansi dari taqwa. Rasa takut yang disertai dengan harap tersebut menjadi landasan seorang muslim untuk senantiasa ber-tauhid dan meninggalkan syirk. Inilah yang menjadi acuan seseorang untuk menjalankan agamanya, sehingga ia disebut muslim. Dan bila ke-islam-an itu dilakukan secara konsisten, maka timbullah ihsan dalam diri muslim tersebut. Dengan demikian, seseorang dikatakan ber-taqwa apabila ia telah beriman atau percaya dengan segenap rasa takut dan harap yang terus menerus berkesinambungan, hingga akhirnya terpatri dalam dirinya dan menjadi sebuah kebiasaan.

Kebiasaan baik dan kepatuhan (al birru) ini merefleksikan kepercayaanya kepada Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan hari akhir (Iman), ketundukannya untuk menjalankan ibadah (Islam) dan kerelaannya untuk senantiasa berbuat kebajikan (Ihsan). Kualifikasi muslim seperti ini persis seperti apa yang digambarkan dalam surat Al-Baqarah ayat 3-4 dan juga surat Ali ‘imran ayat 134-135 tentang ciri-ciri orang beriman, dan juga di banyak ayat lainnya di dalam al-Qur’an. Maka, keimanan seseorang haruslah bersifat aktif dan menjadi penggerak bagi lahirnya perbuatan-perbuatan baik yang akan mengantarkannya pada derajat taqwa. Ini tergambar dari bagaimana setelah disebutkan berganti-ganti beberapa bagian dari Iman, Islam dan Ihsan itu, kemudian Allah menutupnya dengan kalimat: “Mereka itulah orang-orang yang benar dan  mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa dalam ayat tersebut taqwa dicirikan dengan Iman, Islam dan Ihsan sekaligus. Atau dengan kata lain, orang yang ber-taqwa adalah orang yang dalam waktu bersamaan menjadi Mukmin, Muslim dan Muhsin.

  1. Taqwa dalam arti Takut sekaligus Waspada

Taqwa kepada Allah mengisyaratkan akan besarnya azab dan hukuman Allah (bagi siapapun yang mengingkarinya), jika tidak, maka tidak mungkin ke-taqwa-an tersebut mempengaruhi seseorang untuk tunduk dan patuh terhadap kekuasaan Allah. Karena perintah untuk takut kepada Allah selalu muncul setelah adanya perintah untuk melaksanakan suatu ketetapan. Ini menjadi penegasan terhadap perintah tersebut agar benar-benar dilakukan, untuk menutup kemungkinan manusia menyimpang dari perintah Allah. Malahan, tidak jarang perintah itu disertai dengan ancaman akan sebuah azab yang berat, baik langsung ataupun tidak langsung, seperti pandemi Covid-19 misalnya. Ini mengindikasikan perintah Allah kepada manusia untuk senantiasa waspada dan berhati-hati dalam mengambil keputusan, agar tidak bertentangan dengan syariatnya.

Sikap waspada, takut dan kehati-hatian menjadikan manusia senantiasa mencari cara untuk melindungi dirinya dari azab dan hukuman Allah melalui sunnatullah atau natural law-Nya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun cara untuk melindungi diri dari azab Allah adalah dengan menjauhi apa yang menjadi laranganNya dan mengikuti apa yang menjadi perintahNya. Yakni dengan perasaan takut terhadap azabNya dan terhadap yang memberikan Azab. Perasaan takut terhadap azab itulah yang menjadi sebuah dasar dari ke-taqwa-an kepada Allah. Orang yang takut kepada azab tersebut tentunya akan berusaha menjauhkan dirinya dari azab, untuk itu, dia perlu mengetahui apa saja yang menyebabkan dirinya mendapatkan azab. Dengan demikian, seorang muslim yang ber-taqwa akan senantiasa berhati-hati dalam melangkah dan mengambil keputusan.

  1. Taqwa dalam arti Furqan(Pembeda)

Diciptakan sebagai makhluk yang menjalankan misi dari Allah sebagai pengelola bumi, manusia kerap dihadapkan dengan berbagai pilihan dalam hidup. Bila mengamati dari ayat-ayat al-Qur’an, misalnya pada Q.S Al-Isra’: 81 dan Q.S Al-Hajj: 62, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya sekian banyak pilihan-pilihan tersebut terklasifikasi ke dalam dua golongan, yakni haq (benar) dan bathil (salah);

Dari kedua ayat di atas, Allah telah mengisyaratkan dengan jelas kepada manusia, bahwa apa saja yang diperbolehkan Allah, itulah yang disebut haq, dan apa saja yang menjadi larangannya adalah bathil. Walaupun terkadang kedua hal tersebut menjadi samar di mata kita, namun dengan berpegang kepada petunjuk Allah berupa al-Qur’an dan Sunnah serta ijtihad dan penjelasan dari para ulama, kita akan mampu mengetahui kebenaran. Itulah pentingnya manusia mencari tahu kebenaran dengan sarana yang telah telah diberikan Allah melalui akal. Dengan demikian, seseorang yang ber-taqwa tentulah seseorang yang mengetahui dengan pasti kebenaran-kebenaran yang harus diikutinya dan kejahatan atau kemudharatan yang harus dihindari.

Tidak berhenti di situ, seorang yang ber-taqwa juga dituntut untuk dapat melindungi kebenaran tersebut dari kegelapan kebodohan (hoax) dan menunjukannya kepada cahaya akal (rasional), serta memperuntukannya dengan perantara yang benar. Kemampuan untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan tersebut akan didapatkannya dari konsistensi ke-taqwa-anya. Ini seperti sebuah jaminan eksklusif bagi mereka yang senantiasa menjaga ke-taqwa-an. Oleh karena itu, kemampuan untuk membedakan (furqan) ini, akan menjadi hal yang sangat langka dan menjadi identitas bagi orang-orang yang beriman dan menjalankan syariat Islam dengan konsisten.

Kemampuan ‘membedakan’ ini tentunya mengindikasikan adanya pengetahuan yang seimbang terhadap apa-apa yang menjadi kebenaran dan kebatilan. Wujud pengetahuan tersebut merupakan sesuatu yang sangat urgen bagi seorang muslim untuk dapat mencapai suatu kebenaran. Pasalnya, rasa takut seorang hamba kepada Allah, dan kemampuannya untuk menghindari apa yang diharamkan Allah tidak lain adalah karena ia mengetahui apa-apa yang menjadi substansi dari larangan tersebut. Begitupun kecintaannya kepada Allah muncul dikarenakan pengetahuannya yang mendalam tentang Allah selaku rabb, mulk dan ghayah-nya. Maka, terealisasikannya amal perbuatan secara benar yang meliputi segala ketentuan dan ketetapannya, tidak lain karena pengetahuan yang komprehensif atas perbuatan/aktivitas tersebut (ma’rifat). Sebaliknya, ketiadaan pengetahuan manusia terhadap sesuatu menjadikanya sebagai musuh bagi manusia itu. Dengan demikian, bila manusia tidak memiliki pengetahuan tentang Allah dan syariat yang ditetapkannya, maka mereka akan memusuhinya dan menentangnya. Dengan demikian, seorang yang ber-taqwa adalah yang menjalankan segala perintahNya secara konsisten dengan kesadaran yang penuh, hingga dapat menentukan mana yang benar dan mana salah.

  1. Taqwa dalam arti Tunduk dan Patuh

Taqwa memiliki makna filosofis yang dalam. Seperti yang dikatakan Tabataba’i bahwa dalam jiwa seseorang terdapat dua potensi, yaitu potensi berbuat baik dan potensi berbuat jahat yang keduanya tidak dapat berkumpul dalam satu waktu. Maka manusia yang ber-taqwa adalah manusia yang mampu mengembangkan potensi kebaikan atau ketaatan yang ada dalam dirinya dengan cara berbuat ihsan dan meredam potensi buruknya. Hal ini menjelaskan bahwa sekadar patuh saja tidak cukup untuk menempatkan manusia ke dalam derajat taqwa yang sesungguhnya. Manusia ber-taqwa haruslah manusia yang produktif dalam kebaikan. Sehingga kebaikan itu bukan hanya dirasakan untuk dirinya sendiri, namun juga untuk sekitarnya. Pendapat ini diperkuat oleh Hamka dalam tafsirnya al-Azhar, yang mengatakan bahwa dalam kalimat taqwa terkandung arti yang lebih komprehensif, yakni cinta, kasih, harap, cemas tawakkal, ridha, sabar, berani, dan lain-lain. Ini menunjukan betapa kompleksnya arti taqwa yang sesungguhnya. Ia bukan hanya berarti melindungi diri dari hal-hal yang membahayakan, akan tetapi juga berarti semangat untuk memperbaiki dan membangun hidup dan kehidupannya melalui semangat beragama, baik dalam kehidupan sosial maupun spiritual. Terkait dengan kedua potensi yang dimiliki manusia (baik dan buruk), taqwa mengisyaratkan akan usaha seorang manusia untuk mereduksi keburukan yang ada dalam dirinya dan menggantinya dengan kebaikan. Usaha tersebut dilakukan atas dasar kesadaran total akan wujud perintah Allah terhadap kebaikan dan larangan-Nya terhadap keburukan, sehingga apa yang dilakukannya bersumber dari petunjuk Allah. Inilah yang kemudian disebut sebagai sebuah kepatuhan dan ketundukan total kepada Allah.

Untuk menjaga produktivitas ke-taqwa-an, taqwa mengisyaratkan kepada seorang muslim agar senantiasa melakukan aktivitas yang baik dan bermanfaat, sehingga berdampak kepada kemakmuran dan kesejahteraan umat. Di dalamnya juga terdapat himbauan untuk dapat menjalin ukhuwwah Islamiyah yang kuat terhadap sesama muslim dan seluruh makhluk Allah di dunia. Tatanan hidup yang dibentuk oleh Islam secara universal dan komprehensif tersebut  bertujuan untuk membentuk sebuah umat yang ber-akhlak qur’ani sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah. Jika seorang manusia mampu menjalankan semua peraturan yang telah ditetapkan tersebut, maka barulah ia dikatakan sebagai seorang yang ber-taqwa. Implikasinya adalah munculnya akhlak/kepribadian yang baik dari dalam diri seorang, sebagai buah dari konsistensi ke-taqwa-an. Oleh sebab itu, dalam pembentukan akhlak yang baik, taqwa adalah kunci utamanya.

Akhirnya, semoga dengan pencermatan atas kata taqwa ini, puasa yang kita laksanakan dalam kondisi pandemi seperti ini tetap dalam koridor yang sama sebagaimana apa yang diinginkan oleh Allah dalam perintah puasa dimaksud, la alla kum tattaqûn. [FR]

Wa Allâh a’lamu bi murâdih …

You may also like

Leave a Comment

HUMAS/AUAK

IAIN PALANGKA RAYA

Kampus Itah News

Fakultas

Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya

COPYRIGHT © 2018-2023 HUMAS IAIN PALANGKA RAYA

PROUDLY POWERED BY TEKNO HOLISTIK