Oleh: Fadli Rahman
Takkala Allah SWT menciptakan manusia dan mengangkat mereka sebagai khalîfah di muka bumi, Ia pesangoni mereka dengan akal/rasio/nalar, yang dengan akal tersebut manusia menjadi teristimewa dari keseluruhan makhluk ciptaan-Nya. Dan dengan karunia inilah Allah memuliakan manusia, sebagaimana firman-Nya:
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan …”. (Q. S. al-Isrâ’: 70)
Selanjutnya, bagi umat Muhammad SAW dianugerahi pula al-Qur’an sebagai petunjuk dan pembimbing bagi manusia di setiap ruang dan waktu, sehingga lengkaplah sudah anugerah yang diberikan oleh Allah Azza wa Jalla kepada manusia. Namun, sekalipun sudah begitu, tentu jika hanya dengan al-Qur’an “saja” tidaklah cukup karena al-Qur’an itu sendiri teramat mujmaly ungkapan-ungkapannya, hingga mesti diperlukan sarana lain lagi dalam upaya interpretasi atas ungkapan-ungkapan al-Qur’an tersebut.
Kembali ke persoalan akal manusia, dengan akal yang dibantu dengan pemahaman atas ungkapan al-Qur’an dan al-Hadits, seseorang bisa membedakan antara yang hak dan yang batil, yang baik dan yang buruk, yang bermanfaat dan yang mudarat, serta yang bagus dan yang tidak bagus. Akal yang sehat adalah yang menerangi jalan bagi pemiliknya, menunjuki dan menuntunnya, serta menjadikannya bijaksana dan sabar dalam semua tindakannya. Karena itu, orang yang banyak bersabar dan berpikir-panjanglah yang berhasil dan sukses.
Mengingat adanya kebutuhan terhadap “sabar” dalam pergaulan antar sesama manusia, baik dalam hal agama maupun dalam hal muamalah, dan dalam kerangka memberikan keterangan sederhana tentang akhlak mulia (Sabar) yang dijadikan oleh Allah SWT laksana “kuda perang yang tidak pernah tergilincir”, dan “bak pedang tajam yang tidak pernah tumpul”, serta karena sabar merupakan suatu perangai mukmin yang paling mulia dan mempunyai kedudukan tertinggi di kalangan shâlihîn, maka perlu diulas kembali bagaimana konsep “sabar” tersebut agar sikap “sabar” seperti yang digambarkan di atas dapat kita miliki bersama. Ditambah lagi, dalam suasana Ramadhan ini, tentu kajian tentang “sabar” menjadi lebih mengemuka karena – sebagaimana dijelaskan dalam hadits bahwa – separuh dari puasa itu adalah kesabaran, dan separuhnya lagi adalah keimanan. Termasuk juga Ibnu Katsir ketika menjelaskan tentang Ayat: “Dan jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.” (QS. Al-Baqarah: 45) bahwa konteks “sabar” menurut suatu pendapat yang dimaksud adalah puasa, menurut apa yang di-nas-kan oleh Mujahid. Bahkan Al-Qurtubi dan lain-lainnya mengatakan, karena itulah maka bulan Ramadan dinamakan “bulan kesabaran”.
Asal arti sabar – jika dilihat dari segi ethymologisnya – adalah “menahan” dan “mencegah”. Semua orang yang menahan sesuatu, sesungguhnya ia telah bersabar. Di dalam Al-Qur’an disebutkan sebagai berikut:
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari…” (Q. S. al-Kahfi: 28).
Sabar juga dapat diartikan sebagai “lawan dari mengeluh”, dan terkait hal ini Allah SWT berfirman ketika menggambarkan ucapan penghuni neraka:
“Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh atau bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri”. (Q. S. Ibrahîm: 21)
Adakalanya teks sabar dimaksud mempunyai artikulasi lain selain “menahan”, yaitu Sabar yang diartikan dengan “keteguhan”, dan juga “keberanian”, sebagaimana pada “…dengan keteguhan atas iman yang engkau pegang” (al-Baqarah: 175), dan pada: “Apa yang membuat mereka berani?” (al-Baqarah: 45).
Sabar dalam kerangka ontologis bisa dijelaskan melalui definisinya menurut istilah syari’at. Sabar menurut syari’at adalah menahan diri dari keluhan dan kemarahan, menahan lidah dari keluh kesah, dan menahan anggota badan dari berbuat kekacauan.
Imam Ghazali mendefinisikan bahwa sabar adalah suatu keteguhan motivasi religius dalam menghadapi dorongan syahwat. Sifat yang membedakan manusia dengan hewan terletak pada pengekangan syahwat dan penundukannya, yang bisa disebut dengan “motivasi keberagamaan”. Sedangkan tuntunan-tuntunan syahwat (selera) yang sesuai dengan kebutuhan dinamakan dengan “dorongan nafsu”.
Mesti dipahami bahwa “perseteruan” selalu terjadi antara motivasi agama dan motivasi nafsu. Dalam peperangan antar-keduanya, kemenangan bisa terjadi secara silih berganti. Medan peperangan adalah hati seseorang hamba, maka jika motivasi agama tetap tangguh sehingga dapat mengalahkan lawannya dan terus dapat meninggalkan syahwatnya berarti ia akan menang dan bergabung dengan orang-orang yang sabar, tetapi jika motivasi beragama-nya lemah dan tidak berdaya sehingga dikalahkan oleh nafsu syahwat serta tidak sabar dalam melawannya, maka ia akan kalah.
Di samping itu, yang menambah kesabaran menjadi sesuatu yang mulia adalah bahwa sebagian dari nama-nama Allah SWT adalah al-Shabûr, artinya “Yang Maha Memberi Berkah dan Mahasuci”. Allah tidak segera menindak orang-orang yang melakukan maksiat. Al-Shabûr adalah suatu kata mabnî mubâlaghah, yang artinya dekat dengan arti al-Halîm, “Yang Maha Murah Hati”. Perbedaan keduanya adalah bahwa orang yang berdosa tidak merasa aman – secara psikologis – terhadap siksaan (ancaman) dalam sifat al-Shabûr (Teramat Sabar), sebagaimana ia merasa aman – secara psikologis – dari ancaman dalam sifat al-Halîm.
Imam Junaid pernah ditanya tentang sabar, maka beliau menjawab: “Meneguk kepahitan tanpa berkerut mukanya”, artinya bahwa sabar bermakna tidak mengekspresikan hal yang tidak nyaman kepada orang lain.
Amr bin Ustman berkata: “Sabar adalah teguh beserta Allah dan menerima cobaan-Nya dengan tenang dan lapang dada”. Barangkali definisi ini bisa mencakup bagian-bagian sabar, jika kita pandang bahwa teguh beserta Allah (di jalan-Nya) berarti sabar dalam mentaati-Nya dan sabar dalam menahan diri dari maksiat terhadap-Nya.
Ali bin Abi Thalib r.a. berkata: “Sabar adalah binatang tunggangan yang tidak pernah tergelincir.” Seolah-olah sabar merupakan binatang tunggangan (kuda) seorang hamba yang ia tunggangi menempuh jalan kebenaran yang tidak pernah terpeleset, selama ia mampu memengang kendalinya dan dapat mengarahkannya secara baik.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pendapat-pendapat tersebut berbeda-beda dalam mendefinisikan tentang “sabar” dan menjelaskan esensinya. Hal ini dikarenakan ruang lingkup sabar yang cukup luas dan aspek-aspeknya yang cukup banyak.
Barangkali bisa kita ambil nantinya suatu definisi yang lebih mendekati kebenaran, sekalipun definisi yang dikemukakan oleh Imam Ghazali terasa lebih tepat, yaitu bahwa secara esensial: “Sabar adalah suatu akhlak luhur dari sekian banyak akhlak Islami yang wajib dijadikan sifat dalam ke-diri-an seseorang, yang membuat seseorang tersebut mampu untuk melakukan sesuatu yang baik, dan bisa menghindarkan seseorang tadi dari berbuat jahat, perbuatan yang tidak sesuai dengan kapasitasnya sebagai seorang muslim. Tujuan dari itu semua adalah mengharap keridhaan Allah”, sebagaimana firman-Nya: “Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya”. (QS. al-Ra’d: 22).