Ahmad Dakhoir (Guru Besar IAIN Palangka Raya)
Palangka Raya – Pemanfaatan teknologi sebagai sarana dan syiar dakwah diera millennial sudah menjadi sebuah kebutuhan. Termasuk penggunaan teknologi pengeras suara klasik yang bernama Toa. Di dalam buku Electronics Buyers’ Guide menyatakan bahwa Toa merupakan nama perusahaan yaitu Toa Electric Manufacturing Company yang didirikan Tsunetaro Nakatani di Kobe (Jepang) pada 1 September 1934. Alat pengeras volume suara yang mulai familiar di Indonesia tahun 1960-an, tergambar seperti terompet besar, biasanya berwarna biru atau putih, bentuknya kerucut dan biasanya terlihat dipuncak tiang yang tinggi atau menara Masjid.
Berbeda dengan wilayah lain, Toa di kampung Terusan, Kecamatan Bataguh, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah tidak hanya terlihat di menara Masjid, tetapi terlihat dan dipasang di tiang yang tinggi di Pura, dan Gereja. Pura merupakan tempat ibadah agama Hindu, sedangkan Gereja adalah tempat ibadah umat kristiani. Tidak hanya di huni oleh 3 umat beragama, Kampung Terusan juga dihuni oleh beragam suku daerah, seperti suku Dayak, suku Bali, suku Banjar, dan suku Jawa.
Tiga tempat ibadah tersebut letaknya berdekatan, hanya dibatasi sebuah sungai yaitu sungai Terusan. Masjid, Pura, Gereja terletak berseberangan diantara sungai itu.
Bagi umat Islam, Toa bermanfaat untuk mengirim pesan ibadah shalat melalui adzan, dan kegiatan-kegiatan peringatan hari besar islam. Toa di Masjid juga menjadi sarana untuk menginformasikan tentang kabar duka, kegiatan sosial kemasyarakatan, kedatangan tamu, dan informasi penting tentang pertanian, dan kebudayaan. Adzan, pengumuman-pengumuman, nasehat-nasehat agama biasanya menggunakan Toa saat memberikan tanda tiba shalat 5 waktu, kegiatan Isra’ Miraj, Maulid Nabi, Shalat idul fitri, Shalat Idul Adha dll. Demikian halnya dengan tadarus Al-Quran di bulan ramadhan, Toa terus berfungsi hingga larut malam.
Toa di Pura dan Gereja juga demikian. Umat Hindu dan umat Kristiani menggunakan Toa untuk menyampaikan Lantunan Puja Trisandya, doa-doa, Kidung, dan nasehat-nasehat agama masing-masing. Menurut I Wayan Sujarne salah satu tokoh agama Hindu di Terusan mengatakan bahwa Puja Trisandya merupakan persembahyangan pada saat pergantian waktu, baik pagi, siang, dan malam. Tujuannya adalah untuk menghilangkan aspek-aspek negative yang ada dalam diri manusia. Kami melaksanakan lantunan itu setiap saat.
Doa dan nasehat-nasehat agama terhadap umat Hindu, kamudian di broadcast melalui Toa dengan ukuran volume yang sama sebagaimana volume suara adzan.
Selain sebagai sarana untuk beribadah, Toa di Pura juga dimanfaatkan untuk menginformasikan tentang kabar duka, pengarahan-pengarahan dari pemuka agama, pengumuman bersih-bersih kampung, kegiatan sosial kemasyarakatan, kedatangan tamu, dan informasi penting tentang pertanian, dan kebudayaan. Bunyi Toa di Pura biasanya berbunyi di sore dan hingga malam hari. Spesial untuk hari besar, seperti menyambut hari suci Nyepi, Toa biasanya berbunyi hingga larut malam, dan dengan ukuran volume suara yang sama seperti di sore hari.
Bagi umat kristiani, pemanfaatan Toa juga difungsikan sebagai sarana penyampaian pesan-pesan moral yang bersumber dari agama yang mereka peluk. Semua bentuk doa, baik nyanyian-nyanyian pujian, doa syafaat, doa persembahan di broadcast melalui Toa. Dengan volume yang sama sebagaimana saudara-saudara mereka di Pura dan di Masjid. Rangkap Illi Jamal, tokoh agama kristiani setempat mengungkapkan, kami sudah terbiasa duduk bersama, bersantai, bahkan kami pernah lama tinggal bersama saudara-saudara kami dari umat islam. Semangat kebersamaan dalam social, dan masing-masing beribadah sesuai agama yang kami anut adalah ajaran budaya dan agama kami. Kami bersuku Dayak, sangat memegang teguh falsafah hidup Budaya Huma Betang. Budaya Huma Betang berarti hidup bersama dalam rumah besar dan panjang yang berisi beragam agama, ras, kepercayaan dan suku, namun selalu menjaga semangat kebersamaan, kerukunan, dan saling menghormati. Berbeda-beda latar belakang dan asal, namun berkumpul dalam satu rumah besar dan panjang. Kami sering mengingatkan kepada saudara kami yang muslim, untuk segera bersiap melaksanakan shoalat jumat. Demikian halnya saudara kami yang muslim juga sering mengingatkan kami untuk beribadah ke Gereja setiap hari minggu.
Doa-doa, nasehat-nasehat, pengumuman-pengumuman yang bersumber dari 3 Toa, sudah hidup dan berjalan sejak tahun 1980-an. Ajaibnya, penggunaan Toa di tiga tempat ibadah itu, masih eksis dan bertahan hingga saat ini, bahkan hingga tulisan ini di publish.
Masing-masing umat beragama, saling mendengarkan dan menghormati bunyi suara dari dalam Toa. Suara yang berisi kalam Tuhan, pujian-pujian kebaikan, nasehat-nasehat kebaikan, saling bersahutan. Sehabis adzan, ada suara nasehat dari Pura. Break sejenak, ada suara doa-doa dari Gereja. Anehnya, tak satupun masyarakat ricuh ketika mendengar suara dari dalam Toa. Masyarakat masing-masing agama, beraktivitas seperti biasanya, dan sama sekali tidak mempermasalahkan suara Toa, apalagi terganggu, dan terusik.
Kyai Mudzakkir sebagai salah satu tokoh agama islam di sana, mengatakan, suasana seperti sudah kami rasakan sejak daerah ini dibuka yaitu tahun 1980. Kami memandang, umat Hindu dan umat Kristiani sudah seperti keluarga sendiri. Kami menjalankan ajaran agama kami masing-masing. Penggunaan mic dan Toa untuk syiar-syiar agama dan kepentingan sosial, bagi kami adalah alat untuk memacu dan berlomba dalam kebaikan.
Keharmonian 3 umat beragama dalam mentolerir volume dan pesan yang bersumber dari pengeras suara, menjadi bukti nyata bahwa, pertama, eksistensi beribadah terhadap ritual setiap agama, memiliki kedudukan yang mulya dan harus dihargai oleh siapapun. Kedua, rumah ibadah adalah symbol dan pusat peradaban tertinggi di mana saja. Rumah ibadah merupakan tempat suci, melahirkan gagasan-gagasan suci, dan rumah spiritual dalam mewujudkan perilaku yang suci yang selaras dengan nilai-nilai kebangsaan. Ketiga, semacam ada “kesepakatan” atau mitsaq yang tidak tertulis dan telah hidup secara alamiah, yang menghujam kokoh dan di laksanakan oleh generasi selanjutnya.
Kenyataan seperti ini tentu dapat menjadi hikmah dan pelajaran berharga, bahwa menjaga dan menghormati ritual, nilai-nilai ibadah, dalam ruang sosial, merupakan pemenuhan pentingnya memelihara agama (hifdzu al-din).
Kita prihatin, terkadang masih ada menyaksikan beberapa kericuhan akibat suara Toa ini. Toa seolah menjadi ancaman bagi kaum minoritas. Sebaliknya, di daerah lain yang penganut agamanya berjumlah mayoritas, bergantian membatasi bahkan menghentikan suara Toa yang bersumber dari saudara-saudara kita yang jumlahnya minoritas. Bukan hanya lintas agama, pembatasan dan protes terhadap suara Toa juga kerap terjadi oleh sesama agama. Oleh sebab itu, apresiasi bagi Kementerian Agama RI, yang dengan cepat merespon dengan menerbitkan Surat Edaran Menteri Agama RI Nomor 05 tahun 2022 tentang pedoman penggunaan pengeras suara di Masjid dan Mushalla. Harapannya agar pengguna pengeras suara ini dapat menyesuaikan, dan bertoleransi dengan masyarakat sekitar.
Alhasil, keharmonian pioner-pioner dari Kampung Terusan ini, menegaskan bahwa konten yang berisi seruan-seruan pengagungan nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah, dan Keadilan Sosial, yang keluar melalui Toa merupakan kunci minat masyarakat bertambah rukun, dan damai. Toa tidak lagi sebagai icon kontestasi dalam ego ritual dan agama tertentu. Toa bukan sebuah trigger pesan dari suara mayoritas, tapi sudah menjadi perpanjangan “kalam Tuhan” dalam menyeru persaudaraan.
Inilah keharmonian yang berjalan secara natural, yang mampu bertahan ditengah masih adanya intoleransi beragama. Keharmonian semu, jika tidak dirawat biasanya memang jarang bisa bertahan lama. Tetapi, kebersamaan yang saya lihat disana, yang sama sekali tidak dirawat itu, ternyata mampu bertahan hingga saat ini, sudah 42 tahun. Wallahua’lam bishshawab