Home Berita PUASA DAN “FILSAFAT PERUT”

PUASA DAN “FILSAFAT PERUT”

by Humas IAIN Palangka Raya
0 comment 5.5K views

Oleh: H.HARMAIN IBRAHIM, M.Pd.I

Ramadhan, bulan yang mulia diantara bulan-bulan dalam kehidupan umat Islam selama setahun. Bulan yang penuh barokah, bulan maghfirah, bulan saat Allah membuka pintu apapun selebar-lebarnya bagi hamba-Nya. Ramadhan adalah bulan ketika umat Islam dengan penuh ketaatan dan keikhlasan menahan diri untuk tidak makan dan minum, menahan diri dari kesenangan fitrati antara laki-laki dan wanita, sekalipun halal baginya.

Sejalan dengan kebenaran Islam untuk segala jaman, tempat dan waktu, maka puasa sebagai salah satu ajaran islam memiliki makna dan hakikat yang sangat penting. Puasa sebagaimana telah diwajibkan juga kepada umat yang telah lalu, merupakan petunjuk bahwa ibadah puasa merupakan ibadah yang tidak lekang dan pupus dimakan kemajuan jaman dan peradaban manusia. Puasa disyariatkan Allah untuk menjadi ibadah dan bukti ketakwaan seorang hamba yang mampu menghantarkan manusia menuju kedekatan dengan Rabb-Nya. Puasa adalah ibadah yang tepat dan selalu relevan dan cocok dengan perkembangan jaman.
Satu pertanyaan yang menarik adalah apakah puasa masih tetap cocok dan relevan pada zaman materialisme dan hedonisme ini? Jawabnya, tetap dan akan selalu menjadi problem solving bagi manusia.

Marilah kita cari pembuktiannya. Dalam terminologi ilmu fiqih kita mendapatkan salah satu pengertian puasa adalah “ al-imsak” dari makan dan minum. Dan kita tahu bahwa materialisme adalah racun pikiran yang yang sedang gencar-gencarnya membudayakan gaya kehidupan serba materi. Suatu perangkat musuh-musuh Islam dalam budaya kehidupan duniawi saja. Materialisme berusaha memabukkan umat racun “ Nikmatilah hidup ini sepuas-puasnya, karena hakekat kehidupan itu hanya didunia saja. Tumpuklah harta sebanyak-banyaknya dengan jalan apapun. Milikilah semua barang yang kami tawarkan. Lihatlah dan tirulah gaya kehidupan kami”. Ikutilah tradisi kehidupan kami”.

Materialisme adalah “filsafat perut”. Ia mengajarkan bahwa tujuan hidup adalah mengisi perut sepuas-puasnya. Materialisme mengarahkan bahwatujuan hidup adalah mengisi perut sepuas-puasnya. Materialisme mengarahkan pikiran dan hati manusia hanya untuk bersenang-senang. Suatu racun yang mengajarkan “mengabdilah kalian kepada perutmu jadilah hamba perutmu. Tuhan adalah hawa nafsu untuk memenuhi tuntutan kebutuhan perut dengan jalan apapun.”

Sungguh berbahaya “Filsafat perut” ini, karena masalah tuntutan perut inilah manusia lalai dari yang halal dan serakah kepada yang haram. Maka tidaklah heran salah satu sebab kerusakan hati dan mental dalam kehidupan kita sehari-hari bersumber kepada kebutuhan perut. Sumberkekacauan itu adalah penghambaan manusia kepada materialisme dan hedonisme.

Dari hal tersebut diatas marilah kita kita melihat betapa Allah telah memberikan kita jalan keluar terbaik. Allah menjadikan puasa sebagai washilah untuk bertaqwa kepada-Nya. Puasa merupakan bukti ketakwaan dan jalan menuju takwa. Ramadhan dengan puasanya adalah bulan pematangan mental dan jiwa. Ramadhan dan puasa adalah hari hari penggemblengan hati dan fikir untuk selalu mengabdi dan taslim kepada nilai dan hukum Allah.

Kita memahami bahwa selama hari-hari puasa kita menahan diri dari keinginan memenuhi kebutuhan kita sehari-hari. Makan dan minum. Hari-hari perenungan (ihtisaban), betapapun perut kosong, kita mesti menahan diri sampai batas yang ditentukan Allah, saat berbuka puasa. Puasa adalah hari hari kesabaran manusia (mukmin), ujian untuk meredam diri dari pemenuhan kebutuhan perut. Ramadhan adalah saat paling tepat untuk melatih hawa nafsu agar tunduk dan taslim kepada Allah. Sebulan lamanya umat Islam dilatih agar mampu melepaskan diri dari perangkap hawa nafsu. Terutama hawa nafsu pemenuhan kenbutuhan sehari-hari. Dengan puasa seorang muslim di-training untuk memerdekakan diri dari jeratan keinginan menikmati makaanan dan minuman yang lezat-lezat. Puasa melatih seorang muslim meloloskan diri dari penghambaan kepada hedonisme.

Dalam puasa seorang muslim kosongnya perut menghantarkan dirinya kepada kejernihan pikiran hati. Maka jadilah puasa sebagai hari-hari penyucian jiwa dan mental, hari-hari yang penuh dengan cobaan dan tantangan dari kenikmnatan materi. Hari-hari itu dilalui selama sebulan penuh. Dan berakhir dengan ”terlahir kembali” dalam kondisi jiwa dan mental yang suci di ‘Idul fitri.

Dari hari-hari penggemblengan dan pematangan jiwa dan mental selama satu bulan inilah kitra berusaha untuk selalu tunduk dan pasrah kepada Allah pada waktu, hari, dan bulan diluar ramadhan sebagaimana kita tunduk dan taslim pada hari-hari puasa. Itulah pengertian la’allakum tattaqun. Marhaban Ya, Ramadhan Mubarok.

You may also like

Leave a Comment

HUMAS/AUAK

IAIN PALANGKA RAYA

Kampus Itah News

Fakultas

Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya

COPYRIGHT © 2018-2023 HUMAS IAIN PALANGKA RAYA

PROUDLY POWERED BY TEKNO HOLISTIK